Menjaga Kepentingan dan Informasi Daerah Dalam SSJ
Menjaga Kepentingan dan Informasi Daerah Dalam SSJ
Desentralisasi penyiaran merupakan
mandat dari regulasi penyiaran yang diimplementasikan dalam bentuk Sistem
Siaran Berjaringan (SSJ). Perintah pelaksanaan SSJ telah tertuang dengan jelas
dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2002. Pada pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa
Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran
nasional. Dalam
ayat 3 tercantum bahwa Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga
penyiaran dan pola jaringan
yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan
stasiun lokal.
Kemudian dipertegas kembali dalam pasal 21 ayat (1) yang menyebutkan bahwa
lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa
penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun
penyiaran lokal. Dengan ketentuan tersebut tidak lagi ada istilah lembaga penyiaran
yang bersiaran secara nasional.
Perintah Implementasi SSJ juga tertuang
dalam Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2005 tentang penyelenggaraan
penyiaran lembaga penyiaran swasta. Pasal 17 ayat (2) menegaskan durasi
relai siaran untuk acara tetap yang
berasal dari lembaga penyiaran dalam negeri bagi lembaga penyiaran melalui
sistem stasiun jaringan dibatasi paling banyak 40% (empat puluh perseratus)
untuk jasa penyiaran radio dan paling banyak 90% (sembilan puluh perseratus)
untuk jasa penyiaran televisi dari seluruh waktu siaran per hari. Dalam hal ini
lembaga penyiaran diingatkan untuk tidak menjadi stasiun relai. Lembaga
penyiaran dituntut untuk mengembangkan program sendiri. Tentunya program yang
sesuai dengan lokasi lembaga penyiaran, atau yang lebih dikenal sebagai program
lokal. Sedangkan apa dan bagaimana pengertian program lokal telah diatur dalam
Pedoman Prilaku Siaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Pada P3 pasal 1 ayat
(15) disebutkan bahwa program lokal adalah program
siaran dengan muatan lokal yang mencakup program siaran jurnalistik, program
siaran faktual, dan program siaran nonfaktual dalam rangka pengembangan potensi
daerah setempat serta dikerjakan dan diproduksi oleh sumber daya dan lembaga
penyiaran daerah setempat. Penyiaran
program lokal oleh lembaga penyiaran merupakan sebuah kewajiban, seperti
tertuang dalam pasal 46 pada Pedoman Prilaku Siaran. Sedangkan pada pasal 68 Standar
Program Siaran (SPS) tertuang secara jelas pelaksanaanya. Ayat (1) menyebutkan Program siaran lokal wajib diproduksi dan ditayangkan
dengan durasi paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk televisi dan
paling sedikit 60% (enam puluh per seratus) untuk radio dari seluruh waktu siaran
berjaringan per hari. Selanjutnya pada ayat (2) terdapat ketentuan bahwa 30 persen
dari siaran lokal harus ditayangkan pada waktu prime time. Lembaga penyiaran
secara bertahap juga wajib meningkatkan persentase program siaran lokalnya hingga 50 persen dari seluruh waktu siaran
berjaringan perhari.
Tujuan penerapan SSJ pada dasarnya
adalah upaya mewujudkan keragaman informasi. Dengan SSJ tidak ada lagi dominasi
siaran secara nasional dan stasiun di daerah tidak sekedar menjadi stasiun
relay. Konsep SSJ memberi celah dan ruang bagi stasiun daerah berdiri sendiri
dan memproduksi program acara sendiri. Konsep SSJ lebih pada pengaturan
kerjasama program siaran. Stasiun atau lembaga penyiaran di daerah memiliki
peluang besar untuk mengangkat isu-isu local. Mengingat SSJ merupakan tata
kerja yang mengatur relai siaran secara tetap antar lembaga penyiaran. Kondisi
ini tentu sejalan dengan konsep kelokalan, dimana sebuah lembaga penyiaran akan
memprioritaskan isu ataupun informasi yang berkembang di sekitar wilayah
jangkauan siaran. Begitu juga penonton ataupun pendengar tentunya akan lebih
tertarik pada peristiwa, isu ataupun informasi yang ada di daerahnya. Dengan
demikian penonton ataupun pendengar tidak akan dijejali dengan informasi dari
pusat pemerintahan. Masyarakat akan mendapatkan beragam informasi dan beragam
versi.
Tujuan penerapan SSJ lainya adalah upaya
mewujudkan keragaman kepemilikan. Dengan konsep SSJ maka sebuah lembaga
penyiaran di pusat dan jaringanya di daerah tidak dikuasai oleh satu pemilik
atau pemodal. Kondisi ini memungkinkan keterlibatan pengusaha local atau
pemodal local menjadi pemilik lembaga penyiaran. Konsep SSJ memang telah
dirancang untuk menghindari terjadi dominasi kepemilikan. Sebab dominasi
kepemilikan dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok
tertentu. Keputusan Menteri no. 43 tahun
2009 tentang SSJ terutama pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa “lembaga
penyiaran swasta yang sudah mempunyai stasiun relai di ibukota provinsi wajib
melepaskan kepemilikan atas stasiun relainnya”. Sedangkan pada ayat (2)
disebutkan “Apabila tidak terdapat modal yang dimiliki oleh anggota masyarakat
daerah untuk mendirikan stasiun penyiaran local atau adanya alasan-alasan
khusus yang ditetapkan oleh menteri atau pemerintah daerah setempat, status
kepemilikan stasiun relai di beberapa daerah masih dapat dimiliki oleh lembaga
penyiaran swasta”. Melalui konsep SSJ seharusnya lembaga penyiaran mampu merefleksikan struktur dan isi siaran sesuai dengan
keragaman realitas sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di daerah tempat
bersiaran.
Daerah
pada dasarnya mendapat keuntungan besar dengan berlakunya konsep SSJ.
Keuntungan pertama dari segi penyebaran dan pemerataan informasi. Masyarakat
daerah akan mendapatkan informasi yang beragam dan seimbang terkait
permasalahan yang ada di daerah. Masyarakat daerah tidak lagi hanya mendapat
kabar burung tetapi mendapatkan informasi actual yang terjadi di daerahnya.
Pemerintah daerah juga diuntungkan dengan tersampaikanya berbagai kebijakan
daerah melalui lembaga penyiaran kepada masyarakat. Pembangunan di daerah juga
mendapat pengawasan dan koreksi melalui berita-berita yang disampaikan oleh
lembaga penyiaran. Masyarakat di tingkat daerah tidak lagi dijejali dengan
informasi yang tidak ada kaitanya dengan kepentingan daerah.
Konsep
SSJ juga memberi ruang bagi upaya pelestarian kebudayaan daerah. Apalagi salah
satu arah dan tujuan penyiaran adalah untuk melestarikan dan penyebarluasan nilai-nilai
budaya. Dengan terangkatnya budaya daerah dalam ruang siar maka masyarakat
dapat lebih memahami dan mencintai budaya yang dimiliki. Nilai-nilai budaya
juga akan lebih mudah dipahami oleh generasi muda karena disampaikan secara
menghibur oleh lembaga penyiaran. Nilai budaya juga tidak lagi hanya
disampaikan kepada generasi muda dengan cara tradisional. Pada sisi lain,
seniman yang berkreasi tidak hanya menjadi artis panggung tetapi juga menjadi
artis layar kaca. Kesenian daerah tentunya akan mendapat tempat dihati
masyarakat karena dikemas secara lebih modern dalam tayangan layar kaca dan
ruang dengar.
Penerapan
SSJ, pada sisi lain juga memberi ruang bagi upaya pengurangan pengangguran di
daerah. Mengingat penerapan SSJ mewajibkan lembaga penyiaran untuk menggunakan
sumber daya manusia (SDM) lokal. Hal ini bukanlah untuk memunculkan semangat
kedaerahan tetapi lebih pada pemerataan pengetahuan dan pengembangan SDM daerah.
Penggunaan SDM lokal menjadi wajib karena saat mengemas program siaran local
harus menggunakan SDM local. Apalagi secara definisi sebuah program siaran
dikatakan program siaran local jika program yang disiarkan oleh lembaga
penyiaran mengangkat isu local atau tentang hal local, disiarkan di daerah dan
menggunakan SDM local. Jika diasumsikan sebuah stasiun lembaga penyiaran
televisi mampu menyerap 30 orang tenaga local maka bila terdapat 10 lembaga
penyiaran jumlah SDM local yang terserap mencapai 300 orang.
Keuntungan
lainnya bagi daerah terkait implementasi SSJ adalah adanya pemasukan pajak dan
investasi bagi daerah. Dengan pemberlakuan SSJ secara otomatis lembaga
penyiaran yang sebelumnya bersiaran secara nasional dan hanya memiliki stasiun
relai didaerah harus menjadikan stasiun relainya sebuah lembaga yang berdiri
sendiri di daerah. Dengan diubahnya status stasiun relai menjadi sebuah lembaga
penyiaran yang berdiri sendiri maka memerlukan investasi. Secara otomatis
investasi dari industri penyiaran akan berkembang di daerah. Pada sisi lain,
daerah akan mendapatkan tambahan pendapatan berupa pajak dari beroperasinya
lembaga penyiaran di daerah. Masyarakat di daerah juga mendapatkan dana social
(CSR) yang wajib dikeluarkan oleh perusahaan sebagai tanggungjawab sosial.
Permasalahanya
sejak kepmen SSJ dikeluarkan tahun 2009 hingga saat ini lembaga penyiaran
televisi yang bersiaran secara nasional hingga ke Bali belum menerapkan konsep
SSJ. Berbagai alasan disampaikan, mulai dari belum siap secara infrastruktur,
keterbatasan SDM daerah hingga alasan tingginya sana investasi. Jika alasan
penyediaan infrastruktur dan keterbatasan dana investasi menjadi masalah
tentunya dapat menggandeng pengusaha local. Pelibatan pengusaha local tentunya
sejalan dengan target SSJ yaitu keragaman kepemilikan. Jika alasan keterbatasan
SDM daerah menjadi masalah, tentunya lembaga penyiaran berkewajiban memberikan
pelatihan, pendidikan dan peningkatan keahlian. Tentu penggunaan SDM local akan
lebih menguntungkan daripada mendatangkan tenaga dari luar daerah. Menggunakan
SDM luar daerah tentunya memerlukan dana lebih besar karena terkait pembiayaan
hidup dan tempat tinggal yang harus ditanggung perusahaan. Bila menggunakan SDM
local akan lebih mudah dalam mengemas program siaran local, karena SDM daerah
akan lebih mengetahui tentang daerahnya.
Pada
penayangan program siaran muatan local ada upaya untuk mengakali aturan untuk
memenuhi ketentuan 10 persen. Jika ditelusuri program siaran local yang
ditayangkan tidak diproduksi dengan menggunakan SDM local. Padahal secara
definisi program siaran local harusnya melibatkan SDM local. Selain itu,
program siaran yang dikatakan local tersebut cenderung diputar berulang-ulang.
Hal ini berarti tidak ada produksi program siaran local secara berlanjut.
Kondisi yang cukup mengecewakan ketika program siaran yang dikatakan local
tersebut ditayangkan pada jam-jam hantu. Jam hantu maksudnya waktu dimana
masyarakat istirahat malam, seperti dari jam 2 pagi hingga jam 5 pagi. Padahal
berdasarkan ketentuan SPS pasal 68 ayat (2) terdapat ketentuan bahwa
30 persen dari siaran lokal harus ditayangkan pada waktu prime time.
KPI Pusat bersama KPID seluruh Indonesia
dalam rapat kerja nasional (rakornas) di Nusa Dua Bali pada tahun 2013 pernah
mengeluarkan rekomendasi bersama terkait penegasan pelaksanaan SSJ. Dalam
rekomendasi tersebut KPI mewajibkan TV berjaringan untuk menyiarkan konten
local 10 persen mulai 12 April 2014. Kenyataanya lembaga penyiaran merasa cukup
berat untuk memenuhi ketentuan tersebut. Belum lagi ketika induk jaringan
memiliki program siaran langsung.
Daerah pada dasarnya punya kekuatan
untuk memaksakan pemberlakuan SSJ melalui pembuatan aturan daerah, salah
satunya berupa peraturan daerah (perda). Beberapa pokok utama yang harus
termuat dalam aturan daerah tersebut diantaranya : (1). kewajiban untuk menyiarkan program muatan
local mulai dari 10 persen hingga 50 persen, (2). Program siaran local harus
ditayangkan minimal 30 persennya pada waktu prime time, (3). Jika memungkinkan
perlu adanya waktu penayangan program local yang seragam, (4). Kewajiban untuk
menggunakan SDM local, (5). Adanya pelibatan pemodal atau pengusaha local dalam
investasi lembaga penyiaran televise di daerah, dan (6) kewajiban lembaga
penyiaran untuk segera membangun infrastruktur dalam memenuhi kewajiban dari
penerapan SSJ. Kini tinggal menunggu reaksi eksekutif dan legislatif dalam
menangkap peluang dan memperjuangkan kepentingan daerah melalui implementasi
SSJ.
Penulis :
I Nengah
Muliarta
Komisioner KPID
Bali Bidang Kelembagaan
HP. 081338576547
Email :
nengahmuliarta@gmail.com
Komentar
Posting Komentar