Bali Dalam Krisis SDM Penyiaran

Sumber daya manusia (SDM) adalah asset bagi perusahaan, termasuk bagi lembaga penyiaran yang ada di Bali. SDM ibarat napas bagi lembaga penyiaran. Peralatan canggih yang dimiliki lembaga penyiaran tidak akan berguna jika tidak ada yang SDM. SDM yang mengoperasikan peralatan dan menjalankan operasional sebuah lembaga penyiaran. Persoalanya kemudian walaupun terdapat SDM dalam jumlah banyak tetapi kalau tidak memiliki keahlian dan keterampilam maka operasional juga tidak akan maksimal. Lembaga penyiaran tentu ingin mendapatkan SDM yang profesional dan siap kerja. Pada kenyataanya Bali saat ini mengalami krisis Sumber daya manusia (SDM) bidang penyiaran, Krisis SDM penyiaran tidak saja dialami oleh lembaga penyiaran TV, tetapi juga radio. Padahal di Bali cukup banyak perguruan tinggi yang memiliki fakultas ilmu sosial dan politik. Salah satu bukti adanya krisis SDM penyiaran di Bali adalah pengakuan dari para pemilik dan pengelola lembaga penyiaran, terutama radio yang kesulitan untuk mendapatkan karyawan. Walaupun mendapat SDM tetapi kemampuanya masih sangat terbatas. Bukti lain yang menjadi indikator bahwa Bali mengalami krisis SDM penyiaran adalah adanya sistem bajak karyawan antara satu lembaga penyiaran dengan lembaga penyiaran lainnya. Dengan cara memberi janji gaji lebih besar dan jabatan yang lebih baik, satu lembaga penyiaran membajak pekerja lembaga penyiaran lainnya. Tujuannya sangat sederhana yaitu mendapatkan pekerja yang handal dan professional. Tentu bagi lembaga penyiaran sistem bajak lebih mudah daripada mendidik dan melatih SDM dari awal. Sebab mendidik dan melatih SDM dari awal akan membutuhkan tenaga dan biaya yang tinggi serta waktu yang cukup. Krisis SDM penyiaran di Bali juga dapat dilihat dari jumlah karyawan dalam satu lembaga penyiaran. Memang secara umum jumlah karyawan tentu sangat berhubungan dengan kemampuan perusahaan untuk membayar karyawan. Tetapi perlu juga dilihat dari jumlah karyawan yang dibutuhkan untuk mengelola program siaran. Sebagai contoh satu program acara di televisi membutuhkan 5 orang karyawan untuk mengerjakannya. Dari 5 orang tersebut satu orang sebagai produser, satu orang kameramen, satu orang reporter, audioman dan satu orang editor. Contoh lainnya, satu program siaran di radio membutuhkan 2 orang karyawan untuk mengerjakannya. Dari 2 orang tersebut, satu orang sebagai produser dan satu orang sebagai penyiar. Jika misalnya satu lembaga penyiaran radio memiliki 10 program siaran maka minimal harus memiliki 20 karyawan diluar pegawai adminitrasi dan manajemen. Kenyataanya beberapa radio hanya memiliki 10 sampai 15 orang karyawan. Akibat krisis SDM penyiaran tidak jarang lembaga penyiaran menerima penyiar yang asal bisa bicara dan terlihat cantik dilayar kaca. SDM penyiar yang sekedar bisa bicara tentu sangat banyak, tetapi apakah mampu memberikan inspirasi, informasi, hiburan yang mendidik bagi pendengarnya atau penontonnya. Pada kenyataanya tidak jarang penyiar yang asal bicara justru menggurui pendengar atau penontonnya. Sebagai contoh penyiar radio dalam siaranya hanya membacakan berita koran, kirim salam dan menyebut judul lagi. Buntutnya dengan SDM yang rendah menyebabkan lembaga penyiaran juga membayar dengan tariff rendah. Sebagai contoh, seorang penyiar radio saat bersiaran hanya dihargai dengan honor Rp. 6000 – Rp. 15.000 per-jam siar. Sedangkan untuk penyiar televisi terkadang hanya menerima Rp. 50.000 – Rp. 300.000 untuk sekali siaran. Dengan bayaran yang rendah tentu SDM penyiaran menjadi malas berinovasi. Pada akhirnya target untuk mencapai siaran sehat dan mendidik sangat sulit direalisasikan. Krisis SDM penyiaran di Bali bukan hanya dari segi jumlah, tetapi juga dari segi pengetahuan dan kemampuan. Parameternya masih cukup banyak SDM penyiaran yang tidak mengetahui tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SP). Padahal seharusnya seorang pekerja penyiaran setidaknya pernah membaca atau pernah mendapatkan pelatihan terkait P3 dan SPS. Dampak dari lemahnya pengetahuan terhadap P3 dan SPS sering terjadi pelanggaran dalam siaran TV atau radio. Pelanggaran yang terjadi juga bukan satu atau dua kali tetapi terus terulang. Celakanya kesalahan yang terulang tersebut adalah kesalahan-kesalahan yang sama. Kesalahan yang cukup sederhana misalnya sering terlontar kata-kata ejekan seperti memang saya pembantu atau tampangnya seperti pemulung. Ejekan tersebut tentu merendahkan martabat profesi pembantu rumah tangga dan pemulung. Kesalahan lainnya yang sering terulang misalnya penempatan iklan pengobatan alternatif atau obat kuat untuk pria dewasa di jam menonton anak. Terdapat juga kesalahan yang sangat parah dan sering terulang adalah menempatkan iklan pengobatan alternatif dan obat kuat untuk pria dewasa di dalam program yang dikhususkan bagi anak-anak. KPID Bali pernah melakukan survey kecil-kecilan dengan metode uji petik tentang P3 dan SPS terhadap 21 orang pekerja penyiaran di Bali. Tercatat dari 21 responden tersebut 18 orang adalah top manajemen di lembaga penyiaran (Direktur Utama, Direktur Program, asisten produser dan manajer operasional), 1 orang penyiar, 1 orang humas dan 1 orang reporter. Hasil dari survey tersebut menunjukkan 47,62 persen mengakui belum pernah mendapatkan pembekalan tentang P3 dan SPS. Jika hasil survey tersebut dihubungkan dengan komposisi responden yang 85,7 persen top manajemen tentu cukup mengecewakan. Mengingat tingkat top manajemen saja belum mendapatkan pembekalan atau pelatihan P3 dan SPS, lalu bagaimana dengan SDM yang dibawahnya? Sudah tentu kalangan top manajemen tidak akan berani memberikan pembekalan pada bawahanya karena kalangan top manajemen saja masih bayak yang belum mendapatkan pembekalan P3 dan SPS. Upaya mengatasi krisis SDM penyiaran baik dari segi kualitas dan jumlah harus dilakukan. Lembaga penyiaran tentu harus merancang program peningkatan kualitas SDM. Salah satunya melalui pengembangan pendidikan dan pelatihan bekerjasama dengan perguruan tinggi di Bali. Permasalahan yang sering terjadi lembaga penyiaran enggan mengirim karyawanya untuk mengikuti pelatihan dengan alasan keterbatasan biaya. Jika permasalahan ini tetap dibiarkan berlanjut dan berkepanjangan maka kapan akan memiliki SDM penyiaran yang professional? Apa upaya KPID Bali dalam mengatasi krisis SDM penyiaran di Bali ? mengingat dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 8 ayat (3) poin f disebutkan bahwa KPI mempunyai tugas dan kewajiban menyusun perencanaan pengembangan sumberdaya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran. Perencanaan peningkatan SDM tentu sudah dilakukan oleh KPID Bali, bahkan sejak awal lembaga penyiaran mengajukan ijin. Dalam berkas permohonan lembaga penyiaran diwajiban menyertakan jumlah pegawai dan standar keahlianya. Dalam berkas permohonan lembaga penyiaran juga diwajibkan menyertakan target pengembangan SDM, termasuk program pelatihan SDM secara berkala. Namun dalam perjalananya kadang rencana yang disampaikan tidak berjalan sesuai dengan harapan. Kedepan dalam upaya peningkatan kualitas SDM penyiaran di Bali perlu dipertimbangkan aturan terkait sertifikasi bagi SDM penyiaran. Permasalahanya siapa yang akan mengambil peran dan memiliki kewenangan melakukan sertifikasi? Dapatkan uji kompetensi SDM penyiaran disamakan dengan uji kompetensi wartawan secara umum? Kemudian apa indikator yang dapat dijadikan tolak ukur dalam menetapkan standar kompetensi? Apakah cukup pengetahuan hanya tentang undang-undang penyiaran, pedoman prilaku penyiaran (P3) dan standar program siaran (SPS)? Hingga pada pertanyaan yang berhubungan dengan tingkat kesejahteraan pekerja penyiaran yaitu apakah dengan mengikuti sertifikasi atau uji kompetensi dapat menjamin upah bagi SDM penyiaran meningkat ? pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu harus segera dicarikan jalan keluarnya. Langkah sertifikasi SDM penyiaran tentu merupakan langkah maju. Tantangan terbesarnya kemudian adalah bagaimana kesiapan lembaga penyiaran.? Bisa jadi rencana sertifikasi mendapatkan penolakan karena akan menjadi beban dari segi pembiayaan. Namun jika tidak dilakukan sertifikasi akan sangat sulit mendapatkan SDM penyiaran yang professional.

Komentar

Postingan Populer