Antara Penyiar Radio Murah dan Murahan

Oleh : I Nengah Muliarta Praktisi Penyiaran Bali dan Instruktur Bali Broadcast Academia (BBA) Profesi penyiar radio hampir mirip dengan pekerjaan sebagai seorang seniman yang memiliki tugas menghibur pendengar radio. Menghibur melalui sajian musik, informasi dan olah kata yang mampu membuat pendengar senang. Walaupun terkadang banyak anggapan bahwa penyiar radio termasuk orang yang beruntung, karena dibayar untuk berbicara. Kenyataanya honor penyiar radio sangat miris. Menjadi sebuah tanda-tanya besar, apakah memang penyiar radio memang murah atau penyiar radio memang mau dibayar murah (penyiar murahan). Jika memang penyiar radio dibayar murah tentu memang standar pengupahan pada suatu daerah masih rendah dan bukan karena perusahaan. Bila penyiar radio yang ada memang murahan berarti para penyiar bersedian dibayar murah karena hanya memiliki kemampuan yang seadanya atau pas-pasan. Hasil uji petik Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali selama Juni-Agustus 2014 terhadap 15 lembaga penyiaran radio menunjukkan bahwa bahwa besarnya honor per-jam siar yang diberikan kepada seorang penyiar berkisar antara Rp. 5000 hingga Rp. 11.000. tercatat hanya satu radio yang memberikan honor per-jam siar Rp. 25.000. Parahnya lagi, selain honor siaran yang rendah penyiar juga tidak mendapatkan uang transport dan uang makan. Berbeda dengan hasil temuan KPID Jawa Timur pada tahun 2015 yang menunjukkan bahwa honor penyiar radio di daerah tersebut jauh lebih rendah. Seperti dikutif dari tribunnews.com, disebutkan bahwa masih banyak penyiar di Jawa Tengah yang dibayar di bawah UMR (Upah Minimum Regional) dan bahkan ada yang dibayar perjam Rp. 3.000 rupiah. Apabila di cermati, apakah besaran honor penyiar radio tersebut masih dalam batas kewajaran dalam sebuah proses perburuhan atau justru sudah menjadi sebuah perbudakan? Apabila mengacu pada ketentuan ketenagakerjaan maka besarnya honor per-jam dihitung dengan pendekatan UMP/UMR/UMK dibagi komponen 173. Anggap saja UMP suatu daerah adalah Rp. 2 juta, maka honor per-jam siar seorang penyiar sekitar Rp. 12.000. Bila kemudian ditambahkan uang makan sebesar Rp. 15.000 dan uang transport Rp. 15.000, maka seorang penyiar minimum akan mendapatkan honor sekitar Rp. 42.000. Bandingkan saja dengan seorang buruh bangunan yang bekerja selama 8 jam sehari dengan upah per-hari sebesar Rp. 80.000. Berarti dalam satu jam seorang buruh bangunan mendapatkan honor Rp. 10.000 dan seorang penyiar ternyata masih ada yang menerima honor siar per-jam Rp. 5.000. Buruh bangunan ketika bekerja tidak berpatokan pada pendidikan dan keahlian, berbeda dengan penyiar yang mengutamakan pendidikan, keahlian dan kualitas. Dengan upah yang sangat murah masih layakkah penyiar dikatakan sebagai sebuah profesi dan akan menghasilkan siaran yang sehat serta berkualitas? Boro-boro menghasilkan siaran sehat dan berkualitas, kesehatan penyiar saja tidak terjamin dengan upah yang minim. Beberapa penyiar menyatakan tidak mempermasalahkan dibayar murah karena siaran hanya pekerjaan sampingan dan untuk menjalankan hobi semata. Sebenarnya bersedia dibayar murah atau tidak berani bernegosiasi dengan perusahaan karena memiliki kemampuan pas-pasan. Hobi sekalipun seharusnya bisa mendapatkan penghasilan yang sesuai, atau memang karena hobi dibayar murah? Penyiar harus ingat bahwa mereka bekerja dalam sebuah industri hiburan dan sebuah perusahaan media, bukan pada sebuah lembaga sosial. Penyiar pada prinsipnya merupakan suatu profesi yang memiliki kemampuan dan keahlian tersendiri. Penyiar ibarat seorang aktor yang dibayar karena kemampuan dan keahliannya. Profesi penyiar juga tentunya tidak dapat dijadikan pekerjaan hobi atau sekedar hobi karena menggunakan frekuensi publik yang seharusnya dimanfaatkan demi kepentingan publik dan kesejahteraan masyarakat. Pada sisi lain, pemilik dan manajemen radio memberikan honor yang rendah kepada penyiar dengan alasan kondisi perusahaan yang minim pendapatan karena minimnya pengiklan. Apakah alasan pendapatan minim logis? Padahal sebagai sebuah perusahaan terbatas, media radio terkat pada aturan ketenaga kerjaan. Pemilik dan manajemen radio harus membuka kembali proposal pengajuan ijin yang diajukan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Mengingat dalam proposal tersebut pemilik dan manajemen radio telah berkomitmen untuk memperhatikan kesejahteraan karyawan dan mematuhi standar pengupahan yang ditetapkan oleh pemerintah. Rendahnya honor penyiar yang cenderung dibawah UMR menjadi salah satu indikasi bahwa adanya ketidak seriusan dalam mengelola frekuensi publik. Lembaga penyiaran radio telah diberikan hak untuk menggunakan frekuensi melalui pemberian izin penyelenggaraan penyiaran (IPP), sehingga sepatutnya lembaga penyiaran radio berkewajiban menyelenggarakan penyiaran dengan baik dan benar. Karier seorang penyiar merupakan karier profesional. Seseorang dapat dikatakan professional apabila ; memiliki pendidikan dan keahlian, taat aturan dan dibayar secara professional. Penyiar tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan luas, tetapi juga dituntut memiliki keahlian terkait dunia penyiaran. Mulai dari mengoperasikan peralatan hingga pengetahuan tentang aturan penyiaran seperti Undang-Undang Penyiaran, Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Jika manajemen dan pemilik radio sadar bahwa penyiar adalah asset perusahan maka selayaknya memberikan pelatihan secara periodic bagi penyiar. Manajemen dan pemilik radio wajib memberikan pelatihan bagi pekerjanya karena saat mengajukan proposal permohonan ijin juga telah membuat surat pernyataan mematuhi P3 dan SPS. Salah satu implementasi dari surat pernyataan tersebut adalah pelatihan secara berkala bagi penyiar. Pelatihan tersebut bukan hanya bertujuan meningkatkan pengetahuan dan keahlian dibidang penyiar tetapi juga agar mengetahui aturan hukum penyiaran, sehingga taat akan aturan penyiaran. Seorang penyiar tidak akan dapat dikatakan professional jika hanya berpendidikan, memiliki keahlian dan taat aturan. Seorang yang professional tentu juga harus dibayar secara professional. Lembaga penyiaran radio juga baru dapat dikatakan dikelola secara professional apabila memberikan upah/honor sesuai standar yang berlaku. Apabila manajemen dan pemilik radio tidak membayar honor atau upah sesuai dengan standar yang berlaku maka penyiar juga akan bersiaran seadanya. Akibat bersiaran apa adanya maka sangat sulit untuk menghadirkan siaran yang berkualitas. Bagaimana siaran disebut berkualitas kalau dalam siaranya radio hanya memutar lagu. Penyiar juga bersiaran hanya menyebutkan judul lagu, kirim salam dan menjadi penunjuk waktu. Pada Pasal 8 ayat (3) poin F Undang-Undang penyiaran disebutkan “KPI mempunyai tugas dan kewajiban menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas dibidang penyiaran”. Secara prinsip tugas KPI bukan hanya mengawasi isi siaran semata tetapi juga memastika bahwa lembaga penyiaran melakukan pengembangan sumberdaya manusia secara professional. Jadi KPI harus memastikan bahwa lembaga penyiaran melakukan pendidikan dan pelatihan secara kontinyu, memastikan bahwa lembaga penyiaran taat aturan serta memastikan bahwa pekerja penyiaran dibayar sesuai dengan aturan yang berlaku. Ketika KPI melakukan evaluasi terhadap kesejahteraan dan upah penyiar bukan berarti KPI mengambil alih tugas Dinas Tenaga kerja, tetapi semata-mata melakukan evaluasi terhadap komitmen lembaga penyiaran dalam mentaati proposal ijin yang diajukan, terutama pada bagian aspek manajemen lembaga penyiaran. Mengingat aspek manajemen menjadi acuan bagi KPI dalam mengeluarkan rekomendasi kelayakan (RK) ijin siaran. Aspek manajemen tersebut meliputi sistem perekrutan karyawan, sistem penggajian, sistem lembur, sistem honor, sistem asuransi serta sistem pembagian deviden dan saham bagi karyawan. Evaluasi terhadap kesejahteraan dan upah penyiar juga dilakukan KPI dalam upaya memastikan bahwa lembaga penyiaran tersebut secara operasional akan berkelanjutan, tidak berhenti siaran akibat ditinggal penyiar yang dibayar dengan upah rendah. Jika aspek manajemen yang terdapat dalam proposal pengajuan ijin tidak diimplementasikan oleh lembaga penyiaran maka KPI berhak mencabut rekomendasi kelayakan yang diberikan. Jika melihat Undang-Undang penyiaran lebih jauh, maka pada Pasal 17 ayat (3) disebutkan “Lembaga penyiaran swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan”. KPI mempunyai kewajiban melakukan evaluasi terhadap implementasi pasal ini oleh lembaga penyiaran khususnya radio. Hasil evaluasi dapat digunakan sebagai acuan bagi KPI dalam memberikan rekomendasi kelayakan pada proses perpanjangan ijin berikutnya. Sebagai sebuah media, lembaga penyiaran radio juga terikat dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dimana dalam pasal 10 disebutkan “Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya”. Sudah saatnya lembaga penyiaran radio untuk mulai taat aturan, sebelum meminta pendengarnya untuk taat aturan.

Komentar

Postingan Populer