Melawan Hoax Guna Mewujudkan Pilkada Bali 2018 Yang Damai

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) memang selalu diiringi dengan berbagai janji dari pasangan calon untuk menarik simpati dan dukungan dari pemilih, termasuk adanya janji palsu. Pelaksanaan pilkada juga tidak pernah lepas dari kampanye hitam untuk menjatuhkan lawan dan kampanye hitam tersebut tidak jarang mengarah pada penyebaran informasi bohong (hoax) yang merugikan pasangan lawan. Hoax yang berkembang nyatanya tidak saja digunakan untuk menyerang paslon lawan tetapi juga terdapat hoax yang dikemas untuk mencitrakan paslon yang didukung terkesan kharismatik dan memiliki gagasan cemerlang. Apapun tujuannya, hoax merupakan sebuah penyesatan dan menjadi ancaman bagi pembangunan demokrasi. Hoax dalam pilkada hanyalah pembohongan terencana demi kepentingan individu dan kelompok akan kekuasaan. Banyak pihak telah mengungkapkan bahwa hoax menjadi ancaman bagi pembangunan demokrasi di Indonesia. Hoax dapat menjadi pemicu perselisihan hingga menyebabkan bentrok antar pendukung pasangan calon. Apalagi selama ini pengguna media sosial sering tidak melakukan verifikasi terhadap informasi yang diterima, sehingga informasi bohong tersebut akan cepat menjadi viral. Verifikasi terhadap hoax juga semakin lemah jika penerima informasi mengenal dekat orang yang menyebarkan hoax. Multistakeholder Advisory Group Indonesia Internet Governance Forum Arfi Bambani sempat menyebutkan bahwa sebanyak 80% informasi beredar dalam dark sosial atau media layanan perpesanan, seperti Whatsapp group, Line group dan BBM group. Ironisnya, informasi tersebut kerap dipenuhi dengan informasi ujaran kebencian. Berdasarkan data menunjukkan bahwa tahun 2017 informasi yang beredar di dark social sekitar 74 persen dan tiap tahun diprediksi meningkat. Dimana sebagian besar informasi yang beredar dark social bentuknya adalah video. Permasalahanya ketika informasi beredar dalam dark social maka berbagai informasi yang ada tidak dapat di akses pihak berwajib. Latah Seruan Anti-Hoax Seruan untuk melawan hoax muncul dimana-mana, baik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat ataupun oleh kelompok profesi, termasuk juga oleh jurnalis. Aksi bersama dalam gerakan melawan hoax juga disuarakan oleh berbagai kelompok dan komunitas. Hingga seruan dan aksi melawan hoax terkesan aksi yang latah dan sekedar ikut-ikutan. Terkesan latah karena setelah aksi dan komitmen melawan hoax nyatanya kembali menyebar hoax, baik sengaja atau tidak sengaja. Hoax sangat cepat tersebar dan menjadi viral karena kebiasaan kita sebagai pengguna yang terlalu sering malas untuk melakukan verifikasi. Hoax selalu hadir dengan judul yang bombastis dan mengkait-kaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya sehingga terkesan benar dan ada kaitannya. Hoax seakan menjadi momok dalam musim pilkada, apalagi jika hoax yang disebar berkaitan dengan politik identitas. Latah hoax sepertinya telah mendarah daging, hingga menyebut berita sebagai berita hoax. Hal ini tentu sangat disayangkan, karena berita sebagai sebuah karya jurnalistik juga dapat diklaim sebagai hoax. Tentu ini sama artinya dengan merendahkan sebuah karya jurnalistik. Hoax selama ini didefinisikan sebagai kabar atau informasi bohong, jika kemudian disebut berita hoax maka artinya berita kabar bohong. Apabila kembali pada definisi hoax sebagai kabar/informasi bohong maka wajar informasi besar kemungkinan bohong karena belum melalui sebuah proses verifikasi atau pengecekan lapangan. Begitu juga jika dikembalikan pada definisi informasi yang merupakan data atau pesan yang belum dikonfirmasi kebenarannya, sehingga karena belum dikonfirmasi kebenarannya wajar jika informasi tersebut menjadi informasi bohong atau hoax. Sedangkan berita sebagai sebuah data atau pesan yang sudah dikonfirmasi kebenarannya, kemudian diolah menjadi karya jurnalistik yang di publikasikan pada media sangat tidak wajar disebut sebagai sebuah hoax. Jika kemudian berita tersebut dalam beberapa hal tidak sesuai dengan data di lapangan maka akan lebih sesuai kalau disebut sebagai fake news atau berita plintiran. Terdapat beberapa kemungkinan sebuah berita menjadi fake news, salah satunya karena kurangnya cek dan ricek, baik data ataupun fakta. Kemungkinan berikutnya adalah adanya kesengajaan akibat terdapat kepentingan kelompok atau pemilik media. Jika hal ini terjadi maka artinya redaksi media tersebut berada dalam kendali kelompok atau pemilik media untuk sebuah kepentingan. Kemungkinan lainnya yaitu adanya oknum tertentu yang menyalahgunakan pemberitaan suatu media dengan teknik dan cara tertentu melakukan rekayasa sehingga berita yang muncul tidak sesuai dengan yang aslinya. Hoax Dalam Pilkada Bali Kepolisian Daerah (Polda) Bali sempat merilis bahwa dari 171 daerah di Indonesia yang akan melaksanakan pilkada pada 27 Juni mendatang, Bali tidak termasuk dalam daerah rawan hoax, SARA dan hate speech. Tentu kita berharap pelaksanaan Pilkada di Bali benar-benar terbebas dari hoax. Pengawasan dan upaya meredam hoax tidak seharusnya diserahkan pada pihak kepolisian, tetapi perlu keterlibatan semua pihak. Masyarakat juga diharapkan semakin kritis dalam menerima informasi dan tidak langsung begitu saja kemudian menyebarkan tanpa terlebih dahulu melakukan verifikasi. Bawaslu bersama Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) juga telah menandatangani nota kesepakatan aksi untuk pengawasan konten internet dalam penyelenggaraan Pilkada 2018. Para penyedia layanan internet di Indonesia juga turut menyuarakan deklarasi internet Indonesia lawan hoax di Pilkada 2018. Langkah seperti ini tentu menjadi jalan bagi upaya pelibatan masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan Pilkada 2018. Apalagi hoax bukan sekedar masalah penyesatan informasi, tetapi hoax dalam pelaksanaan Pilkada kini telah dipandang sebagai sebuah kejahatan demokrasi yang luar biasa. Hoax dan Independensi Media Dalam Pilkada Maraknya hoax harus diakui memberikan pengaruh pada tingkat kepercayaan masyarakat kepada media yang selama ini berpedoman pada konsep-konsep jurnalistik. Dengan mudahnya orang menilai sebuah karya jurnalistik dan menyatakan sebagai hoax. Apalagi terhadap karya jurnalistik yang dimuat dalam media online, mengingat hoax selama ini selalu diidentikkan dengan informasi yang hanya disebarkan melalui media online. Persepsi tersebut memang tidak semuanya salah, karena nyatanya karya jurnalistik yang dimuat dalam media online juga selama ini cenderung meniru pemilihan judul berita gaya hoax. Sebagai sebuah contoh dalam judul, terdapat beberapa media yang menggunakan kata “duh” dan “miris” pada awal judul, padahal kata-kata tersebut merupakan opini dari penulis untuk menarik pembaca. Sedangkan secara etika jurnalistiknya seorang jurnalis dilarang memasukkan opini dalam karya jurnalistiknya. Menjadi tugas berat bagi media online yang mengedepankan konsep jurnalistik untuk mengembalikan image ditengah maraknya hoax dan bukan justru meniru gaya hoax untuk menarik minat pembaca. Tantangan media khususnya media online di masa Pilkada bukan hanya melawan hoax tetapi juga menjaga independensi. Independensi media bukan berarti media netral, tetapi berpihak pada kepentingan publik. Media harus mampu harus mampu menunjukkan fungsinya sebagai pengontrol proses politik dan bukan sebagai pemain politik dengan melakukan manipulasi data atau fakta. Media memang mempunyai peran strategis, sehingga banyak oknum yang ingin memanfaatkan media demi keuntungan politik sesaat. Media tidak hanya dituntut mampu menjaga independensi pemberitaan tetapi juga dituntut mampu menjaga independensi awak redaksi. Dalam pelaksanaan Pilkada sudah barang tentu setiap orang punya pilihan, namun sebagai jurnalis dituntut mampu menjaga diri untuk tidak terlibat dalam tim kampanye pasangan calon. Jika seorang jurnalis tidak mampu menjaga independensinya maka akan sangat sulit untuk menyajikan pemberitaan yang independent dan berimbang. Pemberitaan yang tidak independent dan berimbang dapat menjadi pemicu munculnya konflik dalam pelaksanaan pilkada. Penulis I Nengah Muliarta Pemred Beritabali.com Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Bali

Komentar

Postingan Populer