Melawan Lupa Tanggungjawab Pendidikan Politik Lembaga Penyiaran di Bali

Lembaga penyiaran sebagai pengguna frekuensi publik memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Lembaga penyiaran pada sisi lain juga memiliki fungsi ekonomi dan kebudayaan. Fungsi tersebut tertuang dengan jelas dalam pasal 4 Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Kendati Undang-Undang Penyiaran dalam proses revisi tidak berarti fungsi tersebut bisa diabaikan. Sebagai sebuah media, lembaga penyiaran juga terikat dengan Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Pasal 3 Undang-Undang Pers secara tegas juga memuat bahwa Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial serta sebagai lembaga ekonomi. Sayangnya dalam masa kampanye Pemilu 2019 lembaga penyiaran di Bali cenderung terkesan hanya mengejar iklan kampanye pemilu dan lupa tanggungjawab pendidikan politik. Keluh kesah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali I Dewa Agung Gede Lindartawan bisa menjadi gambaran jika lembaga penyiaran hanya mengejar pendapatan ekonomi. Dimana Mantan Ketua KPU Kabupaten Bangli tersebut ditawari harga iklan yang sangat tinggi oleh lembaga penyiaran. Padahal lembaga penyiaran mempunyai tanggungjawab untuk mendukung dan turut serta mensukseskan gelaran Pemilu. Lembaga penyiaran baik radio dan TV juga cenderung menunggu iklan kampanye pemilu dan iklan layanan masyarakat tentang pemilu dari KPU atau lembaga lain. Lembaga penyiaran sebagai pengguna frekuensi publik memiliki kewajiban untuk memberikan informasi dan mengedukasi publik mengenai pelaksanaan pemilu. Memberikan edukasi dan informasi tersebut tidak sebatas hanya memberitakan proses pelaksanaan pemilu, tetapi yang lebih penting adalah memberikan pendidikan politik. Pendidikan politik tersebut salah satunya dapat dilakukan melalui memproduksi dan menayangkan iklan layanan masyarakat. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran memberikan definisi bahwa “iklan layanan masyarakat (ILM) adalah siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi khalayak agar berbuat dan/atau bertingkah laku sesuai dengan pesan iklan tersebut”. Dampak penayangan ILM terhadap perubahan pola pikir masyarakat sudah terbukti sejak lama. Melalui ILM lembaga penyiaran memiliki peran dalam menggerakkan masyarakat untuk melakukan perbaikan. ILM merupakan kampanye sosial yang bertujuan menawarkan ide atau pemikiran untuk kepentingan layanan masyarakat umum. Mengingat ILM berisi pesan ajakan kepada masyarakat untuk melakukan suatu aksi untuk kepentingan umum. Melalui ILM inilah lembaga penyiaran dalam menjalankan perannya melakukan pendidikan politik pemilu pada masyarakat atau publik pemilik frekuensi. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 secara tegas telah mengamanatkan bahwa penayangan ILM merupakan sebuah kewajiban bagi lembaga penyiaran, seperti yang tertuang dalam pasal 46 ayat (7). Ayat (9) menyebutkan “waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk lembaga penyiaran swasta paling sedikit 10 persen dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling sedikit 30 persen dari siaran iklanya. Bahkan dalam Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) terdapat aturan yang mewajibkan penayangan ILM secara cuma-cuma. Pasal 44 ayat (4) P3 menyebutkan lembaga penyiaran wajib menyediakan slot iklan secara cuma-cuma sekurang-kurangnya 50 persen dari seluruh siaran iklan layanan masyarakat per-hari untuk iklan layanan masyarakat yang berisi : keselamatan umum, kewaspadaan pada bencana alam, dan/atau kesehatan masyarakat, yang disampaikan oleh badan-badan publik. Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) juga telah diatur mengenai potongan harga terhadap iklan layanan masyarakat. Pasal 44 ayat (5) P3 mengamanatkan bahwa khusus untuk ILM yang berasal dari lembaga pemerintah atau institusi sosial, lembaga penyiaran wajib memberikan potongan harga sekurang-kurangnya 50 persen dari harga siaran iklan niaga. Ketentuan pada pasal 44 ayat (4) dan (5) juga memberi amanah bahwa lembaga penyiaran juga wajib memproduksi dan menyiaran ILM, tanpa menunggu adanya permintaan ataupun pesanan dari badan-badan publik. Pelanggaran terhadap penayangan ILM, baik disengaja atau tidak tentu berujung pada penjatuhan sanksi. Pada aturan Standar Program Siaran (SPS), khususnya pasal 83 menyebutkan lembaga penyiaran swasta yang tidak menyediakan waktu siaran untuk program siaran iklan layanan masyarakat paling sedikit 10 persen dari seluruh waktu siaran iklan niaga perhari, setelah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 2 kali dikenakan sanksi adminitratif berupa denda administratif yang untuk jasa penyiaran radio paling banyak Rp. 100 juta. Sedangkan untuk jasa penyiaran televisi paling banyak Rp. 1 miliar. Apabila lembaga penyiaran tidak melaksanakan denda administrative maka sanksi ditingkatkan menjadi pembekuan kegiatan siaran sampai dipenuhinya kewajiban membayar denda administratif. Keengganan lembaga penyiaran dalam memperoduksi ILM dan penetapan harga yang sangat tinggi bagi iklan KPU harusnya menjadi bahan evalusi bagi KPU saat melibatkan lembaga penyiaran, terutama dalam penayangan iklan kampanye. Mestinya KPU Bali tidak memberikan kue iklan kampanye pada lembaga penyiaran yang tidak memproduksi ILM terkait pendidikan politik pemilu. KPU Bali juga mestinya tidak memberikan kue iklan pada lembaga penyiaran yang memberikan harga yang tinggi, karena semestinya ILM yang terkait kepentingan umum diberikan potongan hingga 50 persen dari standar harga iklan komersial. Langkah ini sangat penting dilakukan agar lembaga penyiaran menjalankan tanggungjawabnya sebagai pengguna frekuensi publik. Selama ini lembaga penyiaran cenderung hanya bersifat menunggu iklan layanan masyarakat dari KPU ataupun lembaga publik. Kebiasaan ini seakan-akan menjadi hal yang benar dan dibenarkan, dengan alasan meningkatkan pendapatan untuk kesejahteraan karyawan. Padahal secara aturan sudah sangat jelas, dimana lembaga penyiaran mencari keuntungan melalui iklan komersial. Namun disisi lain lembaga penyiaran mempunyai kewajiban melalui iklan layanan masyarakat/ILM. Dalam hal memproduksi ILM, lembaga penyiaran sering beralasan tidak bisa memproduksi karena tidak mempunyai studio produksi, peralatan hingga tidak mempunyai tim kreatif. Tentu alasan-alasan tersebut sangat tidak beralasan. Sebagai sebuah lembaga penyiaran tentu harus dilengkapi studio dan peralatan produksi yang standar dan lengkap. Apalagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam memberikan rekomendasi kelayakan untuk mendapatkan ijin penyelenggaraan penyiaran (IPP) juga akan memastikan bahwa lembaga penyiaran tersebut memiliki infrastruktur yang lengkap dan memadai. Dalam memberikan rekomendasi kelayakan untuk mendapatkan IPP bagi lembaga penyiaran, KPI juga pasti akan melakukan pengecekan lapangan untuk memastikan bahwa lembaga penyiaran tersebut memiliki tim kreatif. Tentu menjadi sangat aneh, jika lembaga penyiaran sebagai sebuah industri kreatif tidak memiliki tim kreatif. Tim kreatif tidak sebatas memikirkan siaran yang menarik bagi pendengar tetapi juga secara ekonomi layak untuk dipasarkan dan menarik bagi pengiklan. Memang terkadang tidak dapat dipungkiri, jika lembaga penyiaran tidak menjalankan kewajibannya karena lemahnya pengawasan dari KPI. Terdapat beberapa pengelola lembaga penyiaran di Bali yang mengakui tidak memproduksi iklan layanan masyarakat terkaitn Pemilu 2019 karena tidak adanya surat edaran dari KPI Bali. Kondisi ini tentu sangat ironis, dimana lembaga penyiaran masih menunggu surat edaran dari KPI untuk melaksanakan kewajiban yang sudah jelas aturannya tertuang dalam Undang-Undang Penyiaran, P3 dan SPS. Jika kemudian memang benar tidak ada surat edaran dari KPI, tentu ini menjadi sebuah tamparan bagi KPI Bali karena ini menunjukkan KPI Bali melempem. Apalagi proaktif KPI sangat dibutuhkan dalam mengawal dan mengawasi lembaga penyiaran. Ajang Pemilu 2019 sebenarnya dapat dijadikan sebuah ajang evalusi bagi KPI terhadap kepatuhan dan ketaatan lembaga penyiaran terhadap kewajibannya. Salah satunya kewajiban dalam memproduksi dan menayangkan ILM. Hasil evalusi kemudian dapat dijadikan bahan rujukan bagi KPI dalam memberikan rekomendasi kelayakan perpanjangan ijin. Namun akan kembali pada kerativitas para komisioner KPI khususnya KPI Bali, apakah akan proaktif ataukah hanya akan menjadi penonton?. Melalui Pemilu 2019, KPI juga dapat melakukan evaluasi terhadap independensi lembaga penyiaran dan tanggungjawab sosialnya dalam mensukseskan pelaksanaan pemilu. I Nengah Muliarta Penulis buku “Wajah Penyiaran Bali” dan “Remeh Temeh Penyiaran Radio” Pemimpin Redaksi Beritabali.com

Komentar

Postingan Populer