Antara Menonton Cerdas dan Menjadi Korban Lembaga Penyiaran
Antara
Menonton Cerdas dan Menjadi Korban Lembaga Penyiaran
Menonton
televisi dan mendengarkan radio selama ini lebih cenderung untuk mendapatkan
hiburan. Berdasarkan hasil survey Nielsen Media Research tahun 2012 menyebutkan
penetrasi televisi mencapai 99 persen. Hal ini berarti hampir seluruh penduduk
di Indonesia menonton televisi. Sedangkan penetrasi radio mencapai 28 persen.
Sementara Koran penetrasinya 26 persen dan majalah hanya 4 persen. Ditengah
penetrasi televisi yang mencapai 99 persen, pengaruh media televisi terhadap
prilaku dan pola pikir pemirsanya juga sangat besar. Dengan besarnya pengaruh
televisi maka masyarakat harus mampu memilah dan memilih siaran televisi.
Berdasarkan
tingkat kebutuhan selama ini menonton televisi dan mendengarkan radio merupakan
kebutuhan tensier. Kenyataanya saat ini, menonton televisi telah menjadi
kebutuhan pokok atau primer. Pesawat televisi dapat dijumpai hampir di semua
rumah. Dalam beberapa kasus pesawat televisi tersedia di setiap kamar dalam
satu rumah. Pesawat televisi juga seakan menjadi benda yang wajib ada dalam
kamar-kamar kost. Begitu juga di dalam rumah-rumah emperan , pos kamling dan
warung juga tersedia televisi. Apalagi dalam perkembanganya saat ini siaran
televisi dapat diakses melalui telephon genggam (HP) dan melalui internet.
Komisi Penyiaran
Indonesia Daerah Bali menyerukan gerakan menonton televisi (TV) secara sehat.
Seruan tersebut sebagai salah satu upaya untuk melindungi anak-anak dari
tayangan kekerasan dan tayangan yang bersifat kurang mendidik yang ditayangkan
televisi. Melalui gerakan menonton secara sehat masyarakat juga diajak untuk
mampu mekritisi isi siaran televisi dan radio. Masyarakat atau pemirsa
diharapkan tidak menerima mentah-mentah apa yang disampaikan lembaga penyiaran.
Masyarakat juga diharapkan tidak seperti gelas kosong ketika menonton televisi.
Intinya masyarakat tidak menerima mentah-mentah terhadap apa yang disiarkan
televisi.
Dampak siaran televisi
harus diakui merupakan salah satu penyebab munculnya kasus kekerasan terhadap
anak. Masih banyak tayangan yang tidak mendidik bagi anak-anak yang ditayangkan
di televisi. Tayangan kartun saja masih cukup banyak menyajikan perkelahian.
Belum lagi iklan-iklan produk makanan seperti roti dan permen yang
menggambarkan seakan-akan memberikan efek kekuatan super bagi anak-anak yang
mengkonsumsinya. Buktinya banyak anak yang meniru apa yang ditonton di
televisi, seperti meniru gaya Superhero terbang dan melompat, bahkan apa yang
terjadi di Jakarta seorang anak melompat dari apartemen karena meniru gaya
superhero.
Faktanya media massa
cenderung kian menginspirasi orang dalam melakukan kejahatan. Pelaku
kriminalitas cenderung meniru praktik kejahatan lainnya melalui media massa.
Indikasinya adalah munculnya gejala kemiripan kasus-kasus kriminalitas yang
menonjol pada beberapa tahun terakhir. Ade Erlangga Masdiana, kriminolog dari
Universitas Indonesia menyebutkan media menjadi alat pembelajaran bagi pelaku
dalam mengemas perbuatan kriminal. Buktinya
kasus-kasus pembunuhan disertai mutilasi yang belakangan muncul
berkali-kali. (Kompas,10 November 2008 ). Bimo Nugroho, penulis Dead Media
Society (2005), juga menyebutkan, ada hubungan erat kekerasan di tayangan
televisi dengan yang terjadi di kehidupan nyata. Pernyataan tersebut didasarkan
pada hasil penelitian Leonard Eron dan Rowell Huesman terhadap berbagai program
tayangan kekerasan di televisi Amerika Serikat pada akhir tahun 1990-an. Eron
dan Huesman menganalisis dampak media pada penonton anak-anak yang tumbuh dari
usia 8 tahun hingga 22 tahun kemudian. Hasilnya, tontonan kekerasan yang
dinikmati pada usia 8 tahun akan mendorong aksi kriminalitas pada usia 30
tahun. Selain itu Riset Albert Bandura tahun 1977 menemukan, televisi mendorong
peniruan perilaku sosial, bahkan pada tahap akhir mampu menciptakan realitas sesuai
konsep teori pembelajaran sosial kognitif.
Banyaknya anak yang
meniru apa yang ditayangkan televisi dan disiarkan radio. Kondisi tersebut pada
dasarnya bukanlah semata-mata kesalahan lembaga penyiaran. Orang tua juga
memiliki peran penting. Orang tua hendaknya mendampingi anaknya saat menonton
tayangan televisi. Jadi orang tua harus memberikan pengertian pada anaknya pada
apa yang ada di televisi. Sebab apa yang ada di televisi belum tentu mampu
dipahami secara baik oleh anak-anak. Apalagi tayangan televisi saat ini cukup
beragam, tetapi lembaga penyiaran telah memberikan kode dalam setiap siaran,
Kode tersebut berupa tanda D dalam lingkaran yang berarti tayangan khusus
dewasa atau tanda BO dalam lingkaran yang berarti ketika anak menonton tayangan
tersebut perlu bimbingan orang tua.
Satu hal yang cukup
fatal selama ini bagi orang tua adalah menempatkan televisi di ruang tidur.
Kondisi ini menyebabkan anak sering ikut menonton apa yang ditotonkan orang
tua, padahal siaran tersebut khusus untuk kalangan dewasa. Bahkan juga terdapat
kecenderungan orang tua membiarkan atau justru menaruh televisi di kamar tidur
anak.
Bagi lembaga penyiaran
dalam memproduksi atau menayangkan sebuah program tentunya harus berpedoman
pada Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Dalam pasal 36 ayat (3)
disebutkan bahwa isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan
kepada khalayak khususnya, yaitu anak-anak dan remaja dengan menyiarkan mata
acara pada waktu yang tepat dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan atau
menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai isi siaran.
Harus diakui masih ada
tantangan lain di industri penyiaran yaitu kualitas sumber daya manusia. Dalam
upaya mewujudkan siaran berkualitas maka harus dilakukan penguatan kapasitas
sumber daya manusia (SDM) dari lembaga penyiaran. Kualitas SDM yang rendah
tentunya akan berdampak pada lahirnya program-program siaran yang asal jadi dan
tidak mendidik. Kualitas SDM yang lemah pada lembaga penyiaran tentu juga akan
menghadirkan program siaran asal jadi dan mengabaikan pedoman prilaku penyiaran
dan standar program siaran (P3 & SPS). Program siaran asal tayang dan asal
siaran tentu tidak memberi manfaat bagi masyarakat. Padahal lembaga penyiaran
harusnya menjalankan fungsi sebagai media informasi dan pendidikannya.
Profesionalisme
SDM pada lembaga penyiaran merupakan salah satu faktor utama dalam upaya
mewujudkan siaran berkualitas. Agar mampu profesional, SDM lembaga penyiaran
tentunya harus memiliki pendidikan, memiliki keahlian dan terus mengasah
berkreativitas. Pada beberapa kasus, lembaga penyiaran terutama radio di Bali
tidak memiliki program pendidikan dan pelatihan dalam upaya meningkatkan
kualitas SDM yang dimiliki. SDM yang direkrut juga hanya dibekali dengan teknik
siaran. Padahal seharusnya juga dibekali dengan pengetahuan tentang pedoman
prilaku siaran dan standar program siaran. Begitu juga dari segi tingkat
pendidikan, SDM lembaga penyiaran di Bali rata-rata berpendidikan SMU. Sebagai
contoh kasus, dari 10 karyawan pada sebuah radio di Bali hanya 2 orang yang
berpendidikan S1 (sarjana).
Beberapa
bukti bahwa SDM lembaga penyiaran terutama radio di Bali masih rendah adalah
siaran yang hanya menyebutkan judul lagu dan kirim salam. Walaupun terkadang
membacakan berita cenderung mengambil berita dari koran. Selain itu saat
membaca juga cenderung lupa menyebutkan sumber berita yang dikutif. Kualitas
SDM lembaga penyiaran televisi tidak berbeda jauh dengan radio. Pada lembaga
penyiaran televisi di Bali kecenderungan seorang reporter yang direkrut hanya
ditekankan dalam menggunakan kamera. Pelatihan yang diberikan juga terkadang
tidak lebih dari seminggu. Pada sisi lain sang reporter jarang mendapatkan pembekalan
kode etik jurnalistik. Apalagi mendapatkan pembekalan tentang pedoman prilaku
penyiaran dan standar program siaran.
Saatnya untuk mulai menonton dengan cerdas
ditengah derasnya arus informasi dan program siaran yang ditawarkan lembaga
penyiaran. Berbagai langkah tentu dapat dilakukan agar tidak terjebak dan
menjadi korban dari siaran lembaga penyiaran. Sebagai pemirsa atau pendengar
yang baik tentunya masyarakat harus mampu bersikap kritis terhadap pesan yang
disampaikan lembaga penyiaran. Artinya tidak serta merta menerima begitu saja
pesan yang disampaikan lembaga penyiaran. Langkah lainnya yang dapat dilakukan
tentunya tidak menjadikan kebiasaan menonton TV atau mendengarkan radio sebagai
sebuah candu. Langkah berikutnya berupa menolak tayangan atau program siaran
yang tidak baik dengan tidak menonton atau mendengarkan program tersebut.
Selain itu, tidak gampang terbujuk oleh siaran iklan yang ditayangkan lembaga
penyiaran.
I Nengah Muliarta
Komisioner KPID Bali
Komentar
Posting Komentar