Kekerasan Dalam Kemasan Tayangan Khusus Anak
Kekerasan
Dalam Kemasan
Tayangan Khusus Anak
Teguran tertulis
pertama yang diberikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kepada ANTV terkait
penayangan Program
Siaran “Little Krisna” menuai hujatan di sosial media. Surat teguran bernomor
2159/K/KPI/09/14 tersebut dinilai mengabaikan cerita bersejarah. Surat
tertanggal 18 September 2014 tersebut juga dinilai diskriminatif. Hujatan
akibat salah persepsi menjadikan KPI sebagai lembaga yang seakan salah langkah.
Pada beberapa status menyebutkan bahwa “bukan tayangan Program Siaran “Little
Krisna” yang berbahaya, tetapi justru KPI yang berbahaya. Pada sisi lain, ada
yang menyebutkan KPI sebagai lembaga lebay dan alay. Hanya karena sebuah surat
teguran menyebabkan lembaga KPI menjadi lembaga yang paling bersalah. Padahal
KPI hanya menjalankan fungsi dan tugas sesuai undang-undang 32 tahun 2002
tentang penyiaran. KPI juga mengeluarkan surat teguran dengan berpedoman pada
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS).
Jika mencermati surat teguran tertulis KPI maka pada
dasarnya merupakan surat teguran kepada lembaga penyiaran untuk bersiaran
sesuai P3 dan SPS. Lembaga penyiaran diminta untuk meminimalisir muatan-muatan
kekerasan fisik yang eksplisit dalam tayangan “Little Krisna” atau memindahkan
program tersebut ke jam tayang dewasa yaitu pukul 22.00-03.00 WIB. Apalagi dalam
salah satu adegan terlihat Krishna menarik ekor kerbau dan memutar-mutar tubuh
binatang tersebut hingga terpelanting ke tanah dari ketinggian. Muatan Little
Krisna yang sarat kekerasan fisik dan eksplisit serta disiarkan secara masif
dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi perkembangan psikolog anak.
Padahal seharusnya sebagai program kartun dengan klasifikasi A harus mengandung
muatan, gaya penceritaan dan tampilan sesuai dengan perkembangan jiwa
anak-anak. Tentunya tidak ada larangan penayangan Little Krisna, jika tidak ada
adegan kekerasan fisik yang dapat ditiru oleh anak. Surat teguran tentunya juga
tidak ada jika program tersebut ditayangkan di waktu tayang dewasa yaitu pukul
22.00-03.00 WIB.
Sebuah program siaran memang tidak bisa lepas dari unsur
drama. Dalam proses produksi tentunya produser ingin agar program yang dibuat
disukai oleh pemirsa. Unsur drama akhirnya mendominasi sebuah program siaran.
Kendati akhirnya hasil produksi sangat jauh berbeda dengan cerita sebenarnya
atau fakta yang ada. Bila kembali pada program Little Krisna maka pertanyaan
besarnya adalah apakah cara Krisna menaklukkan sapi dalam cerita aslinya sama
dengan apa yang disiarkan di TV?. Apakah kekerasan dalam adegan tersebut hanya
bagian untuk menjadikan cerita lebih seru ditonton? Apabila hal itu benar maka
berarti ada upaya secara sadar dan terencana untuk menonjolkan adegan-adegan
kekerasan. Pada sisi lain secara tidak disadari adegan kekerasan justru
menjadikan tokoh utama sebagai tokoh yang kejam dan sadis. Padahal dalam cerita
aslinya tokoh utama memiliki karakter yang baik. Pertanyaan berikutnya adalah
apakah program Little Krisna dibuat khusus untuk program anak atau justru untuk
dewasa? Jika dikhususkan bagi anak, maka tayanga tersebut harus memperhatikan
perlindungan terhadap anak. Tentu masih ada pertanyaan lain, yaitu apakah
program tersebut diproduksi oleh orang Indonesia atau negara lain. Jika program
tersebut dibuat oleh orang Indonesia dan untuk program siaran khusus anak
tentunya berpedoman pada Undang-Undang penyiaran dan P3 serta SPS. Pada pasal
36 ayat (5) huruf b disebutkan bahwa “isi siaran dilarang menonjolkan unsure kekerasan,
cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang”. Ketentuan yang
lebih jelas dapat dilihat pada pasal 14 dalam Pedoman Perilaku Penyiaran. Pada
ayat (1) disebutkan “ lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan
pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat
sesuai dengan penggolongan program siaran”. Sedangkan pada ayat (2) dinyatakan
lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek
produksi siaran.
Pada sisi lain pengawasan terhadap program siaran, bukan
hanya tugas KPI semata. Sebelum sebuah film atau iklan ditayangkan maka harus
terlebih dahulu mendapatkan tanda lulus sensor dari lembaga sensor. Dalam pasal 47 Undang-Undang penyiaran
disebutkan bahwa “isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh
tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang”. Menjadi sebuah pertanyaan
besar, mengapa program siaran tersebut bisa lolos sensor, padahal jelas-jelas
mengandung aksi kekerasan ? apakah ini berarti proses sensor tidak dilakukan
secara ketat? Bagi masyarakat umum, jika terdapat adegan kekerasan dalam sebuah
film cenderung yang disalahkan adalah
KPI. Sedangkan KPI tidak mempunyai wewenang untuk melakukan sensor. KPI hanya
memiliki kewenangan ketika program siaran tersebut telah disiarkan.
Dalam standar program siaran (SPS) lembaga penyiaran pada
dasarnya telah diberikan batasan waktu terkait penayangan suatu program siaran
sesuai klasifikasi program. Dalam pasal 36 ayat (1) disebutkan bahwa “Program
siaran klasifikasi A (Anak) khusus dibuat dan ditujukan untuk anak-anak serta
mengandung muatan, gaya penceritaan dan tampilan sesuai dengan perkembangan
jiwa anak-anak”. Selanjutnya pada ayat (5) disebutkan dengan jelas bahwa
“program siaran anak-anak diutamakan disiarkan dari pukul 05.00 hingga pukul
18.00 waktu setempat. Jika kemudian sebuah program banyak mengandung unsur
kekerasan maka sepatutnya ditayangkan pada pukul 22.00-03.00 WIB. pukul
22.00-03.00 WIB. Pada beberapa kasus, bisa jadi bukan karena adegan film atau
iklannya yang salah, tetapi justru karena kesalahan lembaga penyiaran dalam
penempatan waktu penayangan. Sebagai salah satu contoh iklan kondom. Tentu saja
sangat tidak baik menayangkan iklan kondom pada waktu jam siaran program anak.
Anak bisa salah memberikan persepsi terhadap pesan yang disampaikan dalam iklan
tersebut. Contoh lainnya adalah dalam siaran radio. Pada saat program siaran
yang dikhususkan bagi anak masih sering dijumpai iklan pengobatan alternatif
dengan bahasa yang berlebihan, selain
itu, cenderung menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan keperkasaan pria
atau seksualitas.
Program siaran yang ditawarkan oleh lembaga penyiaran kini
terus berkembang dan semakin beragam. Tayangan film kartun di Indonesia selama
ini menjadi salah satu tayangan favorit bagi anak. Kartun sangat identik dengan program siaran
khusus anak. Bahkan tak jarang ada pendapat kartun adalah tontonan bagi anak.
Kenyataanya banyak film kartun yang menampilkan adegan kekerasan dan menampilkan
adegan di luar nalar. Film Kartun Tom & Jery selama ini identik sebagai
tontonan yang menghibur bagi anak-anak. Namun dalam beberapa adegan menampilkan
beragam aksi kekerasan. Bukan hanya aksi kekerasan, tetapi juga aksi-aksi
diluar nalar sehat. Seperti tokoh Jery
yang dipukul berulangkali dan telah mati kembali hidup. Begitu juga tokoh
Tom yang terkena ledakan bom bisa pulih kembali dalam waktu sesaat. Lembaga
penyiaran, tentunya harus kembali melakukan evaluasi, apakah film Tom &
Jery di negara asalnya dibuat memang khusus untuk program anak? Jangan-jangan
film tersebut di negara asalnya diproduksi khusus bagi orang dewasa yang
membutuhkan tayangan hiburan alternatif. Banyaknya adegan kekerasan dalam film
Tom & Jery menyebabkan KPI melayangkan surat teguran tertulis kepada 3
televisi yaitu Global TV, ANTV dan RCTI. Dalam surat tertanggal 18 September
2014, KPI menilai tayangan film Tom & Jery mengandung unsur kekerasan.
Tayangan tersebut juga dinilai melanggar perlindungan terhadap anak dan
remaja.
Dalam beberapa tahun terakhir cukup banyak film, animasi dan sinetron yang diangkat ke
layar kaca menggunakan nama-nama tokoh pewayangan. Namun sangat disayangkan
nama tokoh yang digunakan tidak sesuai dengan karakter tokoh yang sebenarnya.
Sehingga tidak jarang karakter tokoh yang sebenarnya kuat, gagah dan perkasa
justru menjadi tokoh yang sadis dan begis. Pada kasus lain, cukup banyak juga
film yang mengangkat cerita sejarah kerajaan. Uniknya cerita tersebut juga
memunculkan tokoh baru yang justru menyebabkan pemutarbalikan fakta dalam
cerita aslinya. Melihat kasus-kasus yang ada, saatnya masyarakat juga turut
melakukan pengawasan terhadap siaran lembaga penyiaran. Apalagi frekuensi yang
digunakan oleh lembaga penyiaran ada milik publik. Jangan sampai frekuensi
milik public yang seharusnya digunakan memberikan pendidikan, informasi dan
hiburan justru digunakan untuk membohongi publik.
Aksi kekerasan tidak hanya dapat ditemui dalam tayangan
kartun, tetapi juga pada program siaran sinetron dan FTP. Melalui surat edaran
no. 2210/K/KPI/09/14, KPI mengingatkan seluruh lembaga penyiaran untuk tidak
menayangkan Program Sinetron dan FTV yang memuat adegan Kekerasan fisik seperti perkelahian di
lingkungan sekolah ataupun di luar sekolah, dan intimidasi (bullying) teman di
sekolah. Lembaga penyiaran juga dilarang memuat ungkapan kasar dan makian yang
memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar dan menghina/melecehkan orang lain.
Termasuk larangan menampilkan Adegan percintaan, bermesraan, berpelukan dan
berciuman di dalam dan sekitar lingkungan sekolah termasuk menggunakan atribut
sekolah (seragam sekolah) yang tidak sesuai dengan etika pendidikan. Larangan
lainnya yang juga harus diperhatikan yaitu larangan menampilkan adegan bunuh
diri, percobaan pembunuhan, praktek aborsi/pengguguran kandungan akibat
hubungan seks di luar nikah serta adegan pemerkosaan. Selain itu larangan
menampilkan adegan mengkonsumsi rokok, NAPZA, minuman beralkohol dan praktek
perjudian.
Komentar
Posting Komentar