Menjaga Air Penjaga Kehidupan di Bali

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa air memegang peranan peting bagi kehidupan di bumi. Manusia dan makhluk hidup lainnya di bumi sangat membutuhkan air untuk bertahan hidup di bumi. Sayangnya dalam kehidupan sehari-hari keberadaan mata air dan aliran air tidak disyukuri. Pembuangan limbah secara sembarangan terjadi dimana-mana, sehingga berdampak pada pencemaran terhadap air. Padahal pencemaran air tidak terhenti pada rendahnya kualitas air tetapi berdampak pada menurunya kesehatan manusia dan kehidupan. Mengingat sekitar 80 persen tubuh manusia tersusun dari air. Pada sisi lain, turunya kulitas air akan berdampak pada masa depan kehidupan di bumi. Bagi masyarakat Hindu Bali, air memiliki fungsi penting sehingga masyarakat Hindu Bali sangat menjaga keberadaan air dan sumber-sumber air. Air merupakan awal kehidupan dan akhir dari kehidupan di bumi bagi masyarakat Hindu Bali. Seluruh upacara dalam masyarakat Hindu Bali tidak lengkap tanpa adanya air atau yang biasa disebut tirta. Kondisi tersebut yang menyebabkan agama Hindu Bali identik dengan sebutan agama tirta (air). Dalam konteks agama tirta menunjukkan posisi penting air yang paling penting dan paling sakral. Sehingga tidak ada satu upacara yang dikatakan selesai sebelum adanya percikan tirta atau air. Begitu juga setiap mengawali suatu upacara juga menggunakan air sebagai komponen penting. Pada tahap awal upacara masyarakat Hindu Bali mengenal rangkaian upacara yang disebut sebagai mendak tirta (menjemput air). Air pada posisi ini benar-benar ditempatkan sebagai sumber kehidupan yang paling penting. Wajar kemudian masyarakat Hindu Bali sangat menjaga air dan mata air yang ada di wilayahnya. Dalam kegiatan pertanian di sawah misalnya, masyarakat Bali mengawali masa tanam dengan menggelar upacara magpag toya (menjemput air). Upacara magpag toya biasanya dilakukan di pura Ulun Suwi. Ulun Suwi dalam konsepsi masyarakat Bali sangat identitik dengan tempat yang menjadi sumber mata air dan pengaturan distribusi air. Dalam upacara magpag toya terlihat dengan jelas bahwa masyarakat Bali menempatkan air sebagai urat nadi kehidupan. Tentu sangat beralasan karena jika panen berhasil maka petani akan mampu mempertahankan kehidupannya. Namun jika panen gagal akibat kekurangan air maka ketersediaan pangan akan tertanggu. Secara pengertian sederhana upacara yang digelar masyarakat Bali untuk menghargai air merupakan salah satu implementasi dari konsep Tri Hita Karana atau 3 konsep hubungan yang seimbang baik antara manusia dengan tuhan, dengan manusia itu sendiri dan dengan alam. Jika dilihat dengan definisi sederhana upacara terkait penghargaan terhadap air merupakan ucapan terima kasih kepada tuhan atas sumber air yang diberikan kepada umat manusia selama ini. Sehingga tidak jarang masyarakat Bali membangun pelinggih (bangunan suci) di lokasi sumber mata air. Upacara yang digelar juga diharapkan dapat membawa kesejahteraan kepada umat manusia. Pada sisi lain, upacara terhadap air juga diharapkan bahwa air yang mengalir memberi kehidupan bagi hewan dan tumbuhan. Upaya perlindungan terhadap air oleh masyarakat Bali juga dilakukan dengan membangun pelinggih (bangunan suci) di lokasi sumber mata air. Harapanya adalah sumber mata air tersebut tidak dirusak oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Dengan dibangunya pelingguh juga menandakan bahwa sumber mata air tersebut adalah suci sehingga tidak boleh dicemari dan dapat digunakan untuk kepentingan bersama. Dengan demikian tidak ada masyarakat yang membuang sampah ataupun mencemari sumber mata air tersebut. Perlindungan terhadap sumber mata air di Bali juga dapat ditemui dalam bentuk adanya pohon atau batu besar yang diberikan kain poleng. Hal ini dilakukan karena tidak jarang dibawah pohon besar atau batu besar tersebut terdapat mata air. Guna melindungi keberadaan mata air tersebut maka kawasan tersebut kemudian ditetapkan sebagai kawasan suci dan disakralkan. Sebagai kawasan suci maka masyarakat Bali kemudian melakukan upacara ditempat tersebut atau sekedar menghaturkan canang (sesaji). Maknanya adalah ucapan terima kasih pada tuhan atas sumber air yang diberikan. Sehingga tidak jarang masyarakat menggelar upacara besar yang menghabiskan biaya tinggi sebagai ungkapan syukur atas ketersediaan air dan sumber mata air yang ada. Dalam upaya menjaga air juga dilakukan masyarakat Bali melalui pesan-pesan moral. Seperti larangan untuk buang air besar atau air kecil dibadan air. Jika hal tersebut dilakukan maka orang yang bersangkutan akan terkena pamali. Namun jika hal tersebut diterjemahkan secara ilmiah maka membuang kotoran ke badan air dalam mencemari air. Apabila pencemaran tersebut dilakukan di daerah hulu sungai atau aliran air tentunya masyarakat di daerah hilir tidak akan mendapatkan air bersih. Apalagi jika kemudian kotoran yang dibuang di daerah hulu mengandung e-coli tentunya akan menyebabkan wabah bagi masyarakat daerah hilir. Berdasarkan topografi wilayah Bali terbagi menjadi 3 bagian penting yang saling berkaitan yaitu pegunungan, daratan dan wilayah pesisir. Pada daerah pegunungan terdapat berbagai sumber mata air yang mengalirkan air kedaerah daratan. Begitu juga air hujan yang melimpah saat musim penghujan mengalir melalui mata air. Aliran air pegunungan tersebut beberapa diantaranya mengalirkan air ke danau. Bali memiliki 4 danau besar yang menjadi tempat penampungan air dan menyediakan air bagi Bali. Keempat danau tersebut diantaranya Danau Batur di Kabupaten Bangli,, Danau Beratan di Kabupaten Tabanan, serta dua danau yaitu Danau Buyan dan Danau Tamblingan, di Kabupaten Buleleng. Pada keempat danau tersebut terdapat pura yang digunakan oleh umat hindu Bali mengucapkan rasa syukur kepada tuhan atas kelimpahan air yang diberikan. Keberadaan Pura diwilayah danau kemudian menjadi pelindung bagi mata air dan air yang ada di danau. Masyarakat disekitar pura juga membuat suatu jarak kesucian untuk menjaga dan melindungi air danau. Mengingat air danau tersebut tidak hanya akan dinikmati oleh warga masyarakat disekitar danau tetapi juga masyarakat di daerah hilir dimana air danau mengalir melalui anak sungai-anak sungai yang ada. Diterapkan Besar kecilnya radius kesucian sumber mata air tergantung pada besar kecilnya mata air yang mengalir. Konsep kawasan suci yang diterapkan pada dasarnya bukan semata-mata untuk melindungi kawasan mata air semata tetapi juga sebagai bagian dari perlindungan terhadap hutan yang menjadi wilayah tangkapan air. Kondisi inilah yang menyebabkan mengapa Bali sangat proteksi daerah hulu dan menetapkan kawasan hulu sebagai kawasan suci yang bebas dari aktivitas akomodasi wisata. Air aliran danau yang mengalir melalui anak sungai kemudian mengaliri sawah-sawah petani dalam sistem irigasi subak. Kelompok-kelompok subak yang ada kemudian membagi aliran air secara bergilir dan merata. Pada system Subak jelas terlihat bagaimana masyarakat memperlakukan air sesuai kebutuhan. Asas pemerataan menjadi pedoman guna mencapai hasil panen yang maksimal. Pelestarian dan penghormatan terhadap air dalam subak tidak hanya dapat dilihat dalam menggunakan air, tetapi juga dalam konsep Pura Subak. Pura Subak menjadi tempat bagi warga petani di Bali untuk memohon dan mengucap syukur terhadap karunia tuhan, termasuk karunia berupa air yang menjadi urat nadi pertanian. Melestarikan air bagi warga Bali tidak sebatas pada air yang berada di darat, masyarakat Bali juga memiliki konsep pelestarian air laut. Bagi masyarakat Hindu Bali laut merupakan tempat peleburan dan penyucian kembali. Laut menjadi tempat pemurnian bagi masyarakat Bali terhadap berbagai noda. Buktinya sebelum hari raya Nyepi masyarakat Bali melakukan upacara melasti yang bermakna penyucian kembali. Jika dicermati masyarakat Bali pada dasarnya memiliki konsep universal dalam menjaga kelestarian air termasuk menjaga siklus air. Tantanganya kemudian muncul menyusul berkembangnya sector pariwisata di Bali. Pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan di Bali juga diikuti dengan pertumbuhan akomodasi wisata. Hotel-hotel dengan ratusan kamar bermunculan dan mengambil air bawah tanah. Jumlah air yang digunakan oleh kalangan perhotelan tidak sebanding dengan daya dukung air yang ada di Bali. Belum lagi kebutuhan air oleh hotel untuk memenuhi kebutuhan kolam renang. Satu sisi masyarakat Bali bertahan dengan konsep perlindungan air dengan kearifan local y ng dimiliki, namun disisi lain industri pariwisata mengambil tanpa control. Data Bali Hotel Association (BHA) dan Howarth HTL menunjukkan Hotel dengan tarif lebih US$440 mengkonsumsi air lebih dari 4.000 liter per orang. Jauh lebih tinggi dari asumsi kebutuhan air penduduk 183 liter per hari di Bali. Penduduk Bali berdasarkan angka sensus 2010, sejumlah 3.890.757 jiwa, angka proyeksi BPS 2014, berjumlah 4,1 juta. Dengan rata-rata penggunaan air setiap orang 183 liter/hari, berarti kebutuhan lebih 750 juta liter per hari. Sedangkan data kebutuhan air bagi wisatawan berdasarkan data PHRI 2014 dimana jumlah kamar hotel 77.496 kamar. Jika rata-rata per kamar perlu 2.000 liter, kalau terisi 50% perlu 160 juta liter per hari. Jumlah tersebut belum termasuk kebutuhan air dari ratusan villa tak teregistasi, kondotel, dan lain-lain. Konsumsi air biasa lebih banyak karena menyediakan kolam renang per unit.(Mongabay.co.id) Sementara berdasarkan data IDEP Foundation menunjukkan bahwa cadangan air tanah Bali telah tercatat berada dibawah 20% dan peneliti telah memberitahukan bahwa kondisi pulau ini akan semakin buruk dan akan terjadi krisis ekologi di tahun 2020. Dimana lebih dari 77,000 kamar hotel yang terdaftar dan fasilitas online booking yang mempromosikan jutaan villa untuk disewa. Kondisinya diperburuh dengan pengumuman terakhir tentang target 30 juta turis di tahun 2029. Penelitian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup pada 1997 silam menyebutkan jika Bali akan mengalami krisis air pada 2013 sebanyak 27 miliar liter. Ahli hidrologi lingkungan Universitas Udayana, Wayan Sunartha, memperkirakan Bali akan mengalami defisit air 26,7 miliar meter kubik pada 2015. Sebelumnya pada 2012 Data Badan Lingkungan Hidup (BLH) menunjukkan bahwa 200 lebih atau 60 persen daerah aliran sungai mengering dan itu potensi air permukaan. Data BLH juga yang menyatakan bahwa daerah Kuta dan daerah Suwung itu sudah mengalami intrusi, satu kilometer di daerah Sanur sampai ke Suwung dan 8 meter di daerah Kuta intrusi itu terjadi, artinya ada penggunaan air bawah tanah yang sifatnya eksploitatif.

Komentar

Postingan Populer