Harga Iklan Dibanting, Radio Terpelanting

Iklan menjadi salah satu sumber utama pendapatan bagi lembaga penyiaran radio. Dalam Undang-Undang N0. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, terutama pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa “siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersediannya jasa, barang dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran bersangkutan”. Pada ayat (6) disebutkan “siaran iklan niaga adalah siaran iklan komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan atau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak sasaran untuk mempengaruhi konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan. Jadi melalui iklan niaga lembaga penyiaran radio dapat memperoleh pendapatan sebesar-besar agar mendapatkan keuntungan ekonomi, membiayai operasional hingga meningkatkan kesejahteraan pekerjanya. Permasalahan banting harga iklan kini menjadi salah satu penyebab lesunya iklan radio selain karena pemasang iklan kini beralih memasang iklan di media online dan TV. Saling tuding melakukan praktik banding harga iklan juga terjadi antar media radio. Kenyataan banting harga iklan dilakukan bersama-sama dan dilakukan dengan sadar hanya demi sekedar mendapatkan pendapatan. Banting harga iklan radio juga dilakukan demi menghindari pengiklan lari ke media radio pesaing. Buntutnya harga iklan spot (iklan putar) dan adlips (iklan baca) ibarat kacang rebus yang di jual murah. Dalam proposal penawaran iklan radio yang ditawarkan ke pengiklan baik adlips dan spot memang berkisar antara Rp. 100.000 hingga Rp. 500.000. Pada kenyataan dilapangan setelah tawar menawar, harga iklan yang diberikan jatuh pada kisaran Rp. 10.000 hingga Rp. 50.000 untuk sekali putar atau baca. Harga iklan radio kemudian semakin jatuh ketika kelompok media tertentu manawarkan iklan paket. Iklan paket menjadi menarik karena pengiklan akan mendapatkan keuntungan promosi yang lebih. Dimana sekali beriklan bisa disiarkan di radio, televisi dan muncul dalam iklan media cetak (koran dan online). Belum termasuk bonus-bonus lainnya sehingga membuat harga iklan di radio semakin murah meriah. Lembaga penyiaran radio yang berada dalam satu kelompok media yang menjual iklan paket tentu akan terlihat panen iklan, namun kenyataanya pendapatan yang masuk minim. Sedangkan radio yang tidak dalam kelompok media tertentu akan semakin sulit mendapatkan iklan. Strategi terakhir yang dilakukan lembaga penyiaran radio yang berdiri sendiri adalah dengan memberikan tawaran bonus yeng lebih pada pengiklan. Strategi ini juga semakin membuat harga iklan radio semakin turun, karena terlalu banyak tawaran bonus bagi pengiklan. Ketika harga iklan di radio semakin murah maka harga durasi siar atau jam siar juga menjadi semakin murah. Secara umum durasi untuk iklan radio adalah 60 detik, walaupun terkadang terdapat juga iklan yang berdurasi hingga 90 detik khususnya untuk iklan layanan masyarakat. Dalam perkembanganya terdapat iklan radio yang durasinya hingga lebih dari 180 detik (3 menit). Kondisi ini menyebabkan durasi jam siar radio menjadi sangat murah. Sebagai sebuah ilustrasi, jika harga iklan spot durasi 60 detik untuk sekali putar sebesar Rp. 50.000, maka harga per-menit durasi siar adalah Rp. 833 Maka ketika durasi iklan spot menjadi 180 detik dengan standar harga iklan spot yang sama maka harga per-menit durasi siar menjadi Rp. 278. Dengan durasi iklan yang semakin panjang maka potensi radio untuk mendapatkan yang lebih banyak akan semakin tertutup. Tertutupnya potensi mendapatkan iklan yang lebih banyak ini terjadi karena lembaga penyiaran radio terikat dengan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Penyiaran. Pasal 46 ayat (8) Undang-Undang Penyiaran menyebutkan “waktu siaran iklan niaga untuk lembaga penyiaran swasta paling banyak 20 %, sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling banyak 15% dari seluruh waktu siar”. Jika menggunakan pola siaran 18 jam (06.00 - 24.00) maka lembaga penyiaran swasta memiliki waktu siar iklan mencapai 3,6 jam dalam sehari. Sedangkan lembaga penyiaran publik memiliki waktu siar iklan mencapai 2,7 jam per hari. Jumlah waktu siar iklan niaga tersebut belum dikurangi dengan waktu siar iklan layanan masyarakat. Berdasarkan pasal 46 ayat (9) Undang-Undang Penyiaran disebutkan “waktu siar iklan layanan masyarakat untuk lembaga penyiaran swasta paling sedikit 10 % dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling sedikit 30 % dari siaran iklannya”. Maka semakin panjang durasi satu iklan makin terbatas jumlah iklan yang di putar dan semakin terbatas juga frekuensi pemutaran iklan dalam satu hari siaran. Aturan terkait proporsi persentase waktu siar iklan juga terdapat dalam Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) pasal 44 ayat (1) dan (2). Aturan tproporsi persentase waktu siar iklan dipertegas kembali dalam Standar Program Siaran (SPS) pasal 58 ayat (2) dan (3). Adanya aturan pembatasan durasi waktu siar iklan tentu sebagai upaya agar lembaga penyiaran, khususnya radio mengutamakan kepentingan publik. Pembatasan ini juga sekaligus mengingatkan lembaga penyiaran agar tidak hanya mengejar kepentingan ekonomi semata. Mengingat frekuensi adalah milik publik, maka harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Lembaga penyiaran, khususnya radio dapat saja melakukan kecurangan dengan menggunakan durasi waktu siar iklan melebihi persentase yang ditetapkan. Namun bagi pelanggar tentu terdapat sanksi. Sanksi bagi siaran iklan niaga yang melebihi persentase yang ditetapkan adalah berupa sanksi denda, seperti yang tertuang dalam SPS pasal 81. Dimana Pasal 81 SPS disebutkan “Program siaran iklan niaga yang melebihi 20 persen dari seluruh waktu siar perhari, setelah mendapatkan teguran tertulis sebanyak dua kali, dikenakan sanksi administrative berupa denda administratif untuk jasa penyiaran radio paling banyak Rp. 100.000.000 dan jasa penyiaran televisi paling banyak Rp. 1.000.000.000. Ibarat pepatah “hidup segan, mati pun tidak mau” seperti itu kondisi lembaga penyiaran radio saat ini ditengah praktek banting harga iklan. Jika kondisi seperti ini tetap dibiarkan maka lembaga penyiaran radio hanya akan menjadi hobi dan pekerjaan sampingan. Bukan sebagai sebuah industri yang menjanjikan sekaligus memberi manfaat bagi masyarakat sebagai pemilik frekuensi. Lembaga penyiaran radio dan asosiasi radio perlu duduk bersama untuk mencari jalan keluar agar industri radio tetap mampu menggeliat dan memberi kesejahteraan pada pekerjanya. Salah satu solusi yang dapat ditempuh adalah membuat kesepakatan bersama mengenai tarif batas harga terendah iklan radio yang diperbolehkan. Jika praktek banting harga iklan radio dan praktek iklan paket tetap dibiarkan maka industri radio tidak akan berkembang. Dengan semakin turunnya harga iklan radio maka pemasang iklan juga akan semakin ragu untuk beriklan di radio. Harga iklan yang sangat rendah tentu menimbulkan keraguan bagi pemasang iklan untuk berpromosi. Pada era digital pesaing radio dalam merebut pasar iklan bukan hanya media cetak atau televisi, tetapi juga media sosial. Apalagi dalam perkembanganya para pengiklan kini juga telah menggunakan media sosial untuk berpromosi. Tantangan seperti ini harus segera diantisipasi oleh pengelola dan pelaku industri radio.

Komentar

Postingan Populer