Siaran Tanpa Naskah, Penyiar Radio Mengigau

Oleh : I Nengah Muliarta (HP. 081338576547) Praktisi Penyiaran Bali dan Konsultan Bali Broadcast Academia (BBA) Lembaga penyiaran radio memiliki peran strategis dalam penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Radio dengan kegiatan penyiaran yang dilakukan merupakan bentuk kegiatan komunikasi massa yang mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan sebagai perekat sosial. Radio memiliki kekuatan audio untuk mempengaruhi masyarakat pendengarnya. Penyiar radio menjadi ujung tombak bagi radio untuk menyampaikan informasi, pendidikan, dan hiburan kepada masyarakat. Permasalahanya sering kali penyiar radio bersiaran tanpa naskah radio, entah karena merasa sudah senior, sudah mampu atau bahkan menganggap naskah siaran radio tidak penting-penting amat. Maka tidak jarang mendengar penyiaran radio saat bersiaran hanya menyampaikan judul lagu, membacakan kiriman salam atau sekedar menjadi jam becker. Bahkan tidak jarang penyiar radio menyampaikan topik pembicaraan yang sama secara berulang-ulang dalam siarannya. Bersiaran tanpa naskah membuat seorang penyiar radio tidak jauh bedanya dengan sedang mengigau. Bagaimana seorang penyiar radio akan mempengaruhi pendengarnya jika hanya mengigau? Bagaimana seorang penyiar radio akan memberikan informasi yang bermanfaat jika bersiaran tanpa bahan siaran yang akan disampaikan kepada pendengarnya? Secara teori, radio adalah “theatre of mind” yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan mengembangkan imajinasi pendengarnya dengan kekuatan suara lewat kata-kata penyiarnya. Tentunya menjadi tanda Tanya, bagaimana seorang penyiar yang bersiaran tanpa naskah akan mampu mempengaruhi imajinasi pendengarnya jika tanpa persiapan dan tanpa naskah? Apakah siaran yang disampaikan benar dan dapat dipercaya?. Bagi seorang penyiar radio tentunya bersiaran tanpa naskah atau bahan siaran tidak ada bedanya dengan menjadi seorang petugas operator di studio. Apalagi pendengar tidak mendapatkan nilai tambah saat mendengarkan siaran sang penyiar. Selama ini, naskah radio hanya dipandang perlu ketika penyiar radio akan membacakan sebuah berita radio. Padahal apapun format acara radio dan juga segmentasi radio tetap perlu naskah siaran. Ibaratnya dalam bersiaran “apapun yang disiarkan, itulah yang ditulis dan apapun yang ditulis, itulah yang disiarkan. Informasi sekecil apapun yang akan disiarkan tentunya harus dibuatkan naskah siaran. Naskah siaran menjadi cara sederhana agar informasi yang disampaikan tidak rancu sehingga dapat disampaikan secara singkat, aktual, dan jelas dalam pengucapan. Seorang penyiar tentunya tidak akan mampu secara spontan menyusun alur cerita, fakta, data dan pemikiran secara terstruktur. Perlu suatu persiapan yang baik sehingga penting dituangkan dalam satu naskah siaran. Naskah radio menjadi cara sederhana bagi seorang penyiar untuk menyampaikan alur pikiran secara logis dan terstruktur. Naskah siaran akan menuntun penyiar dalam menjaga alur bertutur. Ketersediaan naskah siaran akan mempermudah penyiar dalam memahami informasi yang akan disampaikan. Namun harus juga diingat dalam mempersiapkan naskah radio sangat berbeda dengan mempersiapkan informasi di media cetak. Menulis naskah siaran radio adalah menulis untuk telingan, sehingga harus singkat, jelas, aktual dan jelas dalam pengucapan. Naskah siaran radio akan membantu mempermudah penyiar dalam menyampaikan ide atau gagasan kepada pendengarnya. Sebuah ide atau gagasan tentu harus disampaikan secara terstruktur. Namun keterbatasan durasi dalam siaran menyebabkan penyiar tidak akan mampu menyampaikan secara detail. Dengan menyusun ide atau gagasan tersebut dalam sebuah naskah siaran maka akan dapat dibuat secara ringkas, singkat, jelas dan menggunakan kata-kata yang sederhana. Pentingnya menggunakan kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti adalah agar pendengar yang tidak mampu membaca dan menulis juga mengerti apa yang disampaikan penyiar radio. Naskah siaran radio memiliki nilai penting karena dapat dijadikan arsip atau dokumentasi siaran. Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 pasal 45 ayat (1) disebutkan “lembaga penyiaran wajib menyimpan bahan siaran, termasuk rekaman audio, rekaman video, foto dan dokumen sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun setelah disiarkan”. Pada ayat (2) disebutkan “bahan siaran yang memiliki nilai sejarah, nilai informasi, atau nilai penyiaran yang tinggi, wajib diserahkan kepada lembaga yang ditunjuk untuk menjaga kelestariannya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku”. Aturan terkait dokumen siaran juga termuat dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (PKPI) Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS) pada Pasal 74. Dimana pada ayat (1) disebutkan “lembaga penyiaran wajib menyimpan materi rekaman program siaran secara baik dan benar paling sedikit selama satu tahun setelah disiarkan”. Pada ayat (2) disebutkan “untuk kepentingan penelitian, penilaian, dan/atau proses pengambilan keputusan sanksi administratif oleh KPI berdasarkan aduan masyarakat, lembaga penyiaran wajib menyerahkan materi rekaman program siaran yang diadukan bila diminta KPI secara resmi”. Bagi lembaga penyiaran arsip naskah siaran dapat menjadi bahan pembelaan saat terdapat tudingan pelanggaran siaran atau saat mendapat sanksi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Jika tidak terdapat arsip naskah siaran ataupun rekaman siaran tentu lembaga penyiaran tidak akan mampu membela diri, apalagi memberikan tanggapan ketika terdapat sanksi dari KPI. Naskah siaran pada dasarnya juga merupakan pagar pembatas bagi penyiar agar bersiaran sesuai rambu-rambu yang berlaku. Rambu-rambu tersebut adalah Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Dengan adanya naskah siaran maka penyiar tinggal membaca naskah siaran tanpa rasa takut akan adanya kesalahan dalam penyampaian informasi. Jika tanpa naskah siaran maka besar kemungkinan dalam pemilihan kata penyiar akan vulgar dan tanpa control menyampaikan informasi. Apalagi dalam P3 dan SPS terdapat pedoman terkait pembatasan informasi yang bernuansa porno, mengandung kekerasan, perjudian, minuman keras dan lain-lain. Apabila informasi telah disusun dalam naskah siaran, maka baik produser, editor maupun kepala pemberitaan dapat melakukan sensor internal terhadap naskah sebelum disiarkan. Pada sisi lain, naskah siaran radio juga upaya untuk menghindari over lapping informasi yang disampaikan antara penyiar yang satu dengan yang lainnya. over lapping informasi kemungkinanya besar sekali terjadi apabila penyiar cuap-cuap tanpa naskah siaran. Apalagi jika kemudian penyiar mengambil informasi dari sumber-sumber informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya. Belum lagi jika penyiar mengambil informasi dari satu sumber dan tidak membandingkan dengan sumber lainnya. Apabila kondisi ini terjadi maka yang menjadi korban adalah pendengar. Padahal pendengar berharap mendapatkan informasi yang benar dan akurat sesuai fakta. Kemungkinan permasalahan lainnya ketika penyiar bersiaran tanpa naskah adalah besar kemungkinan penyiar akan beropini. Beropini dalam artian, penyiar akan memberikan opini pribadinya terhadap suatu informasi. Padahal tugas seorang penyiar adalah menyiarkan informasi, bukan memberikan komentar atau opini pribadi. Sedikit saja penyiar menambahkan opini pribadinya maka secara langsung ataupun tidak, akan mempengaruhi persepsi pendengar. Seperti halnya seorang wartawan ketika menulis berita, sangat dilarang menambahkan opini pribadi dalam berita yang ditulisnya. Penambahan opini pribadi dapat menyebabkan penyimpangan informasi dan menimbulkan persepsi yang salah pada pendengar radio. Dalam prakteknya, khususnya di Bali sangat jarang penyiar radio bersiaran menggunakan naskah siaran. Beberapa alasan yang menjadi alasan diantaranya sudah biasa bersiaran tanpa naskah, hanya siaran musik hingga alasan tidak diwajibkan oleh pihak manajemen. Alasan lain yang cukup menggelitik yaitu honor rendah sehingga malas menyiapkan naskah siaran, belum lagi di studio radio tidak ada petugas penulis naskah siaran. Alasan-alasan tersebut seakan menjadi pembenar dan akhirnya pendengar tidak mendapatkan informasi apapun dari media radio. Beberapa penyiar ada yang mencoba melengkapi siarannya dengan tambahan informasi yang diambil dari media cetak. Sayangnya kalimat-kalimat dalam media cetak tersebut langsung di baca tanpa mengubahnya terlebih dahulu dalam bentuk format radio. Hasilnya penyiar akan ngos-ngosan membaca informasi, karena kalimat dalam media cetak cenderung panjang dan kalimat bertingkat. Informasi yang sampaikan juga menjadi sangat rinci sehingga memerlukan durasi yang panjang. Padahal karakteristik informasi radio adalah padat, singkat, jelas dan akurat.

Komentar

Postingan Populer