Siaran Pengobatan Alternatif, Antara Harapan dan Realita

Berbagai metode pengobatan kini berkembang di Indonesia, termasuk pengobatan alternatif. Promosi pengobatan alternatif juga cukup marak di berbagai media, termasuk lembaga penyiaran. Cara promosi yang dilakukan juga beragam, mulai dalam bentuk iklan, pemberitaan hingga format talkshow. Pada satu sisi, masyarakat sangat membutuhkan informasi pengobatan untuk kesembuhan. Ibarat gayung bersambut, lembaga penyiaran juga mendapatkan keuntungan dalam bentuk kue iklan. Peluang ini benar-benar dimanfaatkan oleh jasa pengobatan alternatif dan produsen obat herbal. Dalam kondisi sepinya pasar iklan di daerah, maka iklan dari jasa pengobatan alternatif menjadi salah satu sumber pemasukan utama. Bahkan beberapa lembaga penyiaran menjadikan program talkshow pengobatan alternatif sebagai sebuah program siaran unggulan. Program siaran unggulan tentu mendapatkan porsi waktu tersendiri dan tayang secara rutin. Permasalahnya kemudian sejauhmana informasi dari program unggulan pengobatan alternatif tersebut memberikan manfaat pada masyarakat.? Mengingat frekuensi yang digunakan lembaga penyiaran untuk menyiarkan pengobatan alternatif adalah frekuensi publik. Tentu karena frekuensi milik public maka penggunaanya harus berpihak pada kepentingan public dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Permasalahan berikutnya, apakah lembaga yang mempromosikan jasa pengobatan alternatif tersebut telah memiliki legalitas dan sumber daya manusia yang digunakan telah memiliki sertifikasi? Atau apakah obat yang ditawarkan telah memiliki ijin edar atau telah diuji oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)? Hal ini menjadi penting karena ketika jasa pengobatan belum memiliki legalitas ataupun obat yang ditawarkan belum mendapatkan ijin edar maka berarti lembaga penyiaran yang menayangkan telah memberikan informasi bohong pada masyarakat. Setiap orang dan lembaga pada dasarnya memiliki hak yang sama untuk berpromosi di lembaga penyiaran. Tentunya jasa atau produk yang dipromosikan harus memenuhi legalitas. Legalitas menjadi penting sebagai tanggungjawab sosial bagi lembaga penyiaran terhadap masyarakat atas iklan atau informasi yang disampaikan. Dalam Undang-Undang no. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, terutama pasal 36 ayat (5) poin a ditegaskan bahwa “isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong”. Pelanggaran terhadap pasal 36 ayat (5) seperti yang tertuang dalam padal 57 adalah berupa pidana penjara 5 tahun dan atau denda Rp.1 miliar untuk penyiaran radio. Sedangkan untuk penyiaran televisi pidana penjara selama 5 tahun dan atau denda Rp. 10 miliar. Aturan terkait siaran kesehatan pada lembaga penyiaran juga telah dituangkan dalam peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran. Pada pasal 11 ayat (3) disebutkan program siaran yang berisi tentang kesehatan masyarakat dilarang menampilkan penyedia jasa pelayanan kesehatan masyarakat yang tidak memiliki izin dari lembaga berwenang”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka lembaga penyiaran berhak menayakan izin dari jasa pelayanan kesehatan yang ingin berpromosi. Lembaga penyiaran hanya boleh menyiarkan (program atau iklan) seputar jasa pelayanan kesehatan masyarakat (pengobatan alternatif atau pengobatan modern) yang sudah melalui proses perizinan dari lembaga yang berwenang. Langkah ini merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada publik. Menayakan legalitas juga merupakan langkah proteksi bagi lembaga penyiaran. Sebab jika diperhatikan dalam Pasal 46 Ayat 5 UU Penyiaran menyebutkan bahwa “siaran iklan niaga yang disiarkan menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran”. Klausul pasal ini menjelaskan bahwa lembaga penyiaran mempunyai konsekuensi hukum dalam menyiarkan iklan niaga, tak terkecuali iklan pengobatan alternatif. Praktek pengobatan alternatif dan komplementer sudah ada sejak jaman dulu dan telah menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat. Menjadi tanggungjawab semua pihak untuk turut mengembangkan pengobatan alternatif. Apalagi pengobatan alternatif dengan obat herbalnya telah berkembang secara turun-temuran. Permasalahanya kemudian adalah munculnya promosi pengobatan alternatif secara jor-joran di lembaga penyiaran. Promosi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan pelanggan/pasien. Promosi juga menjadi salah satu cara untuk tetap mampu bersaing diantara ribuan jasa pengobatan alternatif yang ada. Secara aturan memang tidak ada larangan bagi jasa pengobatan alternatif untuk berpromosi, termasuk melalui lembaga penyiaran. Catatanya adalah tata cara dan etika berpromosi tentu harus mentaati aturan yang ada. Hasil pendataan Dinas kesehatan Bali di Bali terdapat sekitar 3.024 jasa pengobatan alternatif dan hanya sekitar 5 persen yang memiliki ijin. Sedangkan dari hasil uji petik pembinaan kepada 6 sarana pengobatan alternatif di Denpasar menunjukan keseluruhanya tidak memiliki izin. Berdasarkan hasil uji petik yang dilakukan pada 13-14 Pebruari 2014 juga menunjukkan bahwa jasa pengobatan tersebut telah menyesatkan masyarakat. Parahnya dalam obat yang diberikan kepada pasien terkadang dicampur dengan antibiotik, padahal jika salah menggunakan antibiotik dapat menjadi racun. Melihat kondisi tersebut, maka kedepan perlu dipertimbangkan adanya pedoman bersama terkait tata cara promosi jasa pengobatan alternatif di lembaga penyiaran. Cukup banyak keluhan dari masyarakat terkait maraknya promosi jasa pengobatan alternatif di lembaga penyiaran. Keluhan tersebut bukan saja dari masyarakat, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali sebelumnya juga sempat mendesak Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali untuk menertibkan promosi pengobatan alternatif. IDI Bali berpandangan promosi jasa pengobatan alternatif selama ini cenderung menyesatkan. jika iklan pengobatan alternatif yang menyesatkan di lembaga penyiaran tetap dibiarkan maka kondisi tersebut akan sangat membahayakan bagi masyarakat awam. Namun kenyataanya, KPID Bali hanya mempunyai wewenang untuk memperingatkan lembaga penyiaran. Sedangkan penertiban, pembinaan dan proses perijinan terhadap jasa pengobatan alternatif berada dibawah kendali Dinas Kesehatan Kabupaten/kota. Walaupun kemudian, KPID Bali melakukan penertiban promosi di satu lembaga penyiaran maka jasa pengobatan alternatif tersebut akan pindah ke lembaga penyiaran lainnya. Hasil evaluasi Dinas Kesehatan Bali menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan jasa pengobatan alternatif dalam berpromosi di lembaga penyiaran cenderung berlebihan dan bohong. Mengingat tidak mungkin satu obat dapat menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk HIV/AIDS. Suatu obat juga tidak mungkin memberikan efek kesembuhan dengan cepat dalam hitungan hari atau bulan. Hal yang tidak masuk akal lagi adalah adanya jaminan kesembuhan bagi pasiennya. Padahal jaminan tersebut tanpa memberikan kepastian dan tanpa disertai kejelasan dasar jaminan. Sesuai etika dasar periklanan, iklan harus jujur. Jujur dalam artian tidak memuat konten yang tidak sesuai dengan produknya, atau tidak melebih-lebihkan. Bahasa yang digunakan dalam Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“, dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik. Etika dasar yang kedua, bahasa yang digunakan dalam iklan harus sopan. Dalam kenyataanya selama ini iklan pengobatan alternatif cenderung menggunakan kata-kata yang cenderung porno. Apalagi iklan pengobatan alternatif yang berkaitan dengan keperkasaan pria. Etika dasar ketiga, isi iklan harus dapat dipertanggungjawabkan. Dalam artian keseluruhan isi iklan harus sesuai dengan kegunaan obat yang dipromosikan dan dapat dibuktikan kegunaanya. Guna menarik minat pengguna atau meyakinkan konsumen, dalam berpromosi jasa pengobatan alternatif sering menggunakan testimoni. Pada kenyataanya testimoni tersebut justru menjerumuskan pasien lainnya. Masyarakat akan terjebak untuk ikut mencoba akibat adanya testimoni. Dimana testimoni yang disampaikan diduga tidak jujur karena diberikan oleh orang yang bukan pasien atau pengguna jasa pengobatan yang dipromosikan. Paraduga lainnya adalah orang yang memberikan testimoni merupakan orang bayaran. Hal ini tentunya bertentangan dengan pasal 4 Undang-Undang no. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Dalam pasal 4 tersebut dijelaskan bahwa “hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur”. Pasal 5 poin i Undang-Undang Penyiaran juga telah mengamanatkan bahwa “ penyiaran diarahkan untuk memberikan informasi yang benar, seimbang dan bertanggungjawab”. Promosi jasa pengobatan alternatif selama ini tidak saja dalam bentuk iklan, namun juga dalam bentuk dialog selama 1 jam. Jika dicermati dari segi waktu maka tidak ada iklan di lembaga penyiaran memiliki durasi satu jam, hanya program siaran yang memiliki durasi 1 jam. Melihat kondisi tersebut, maka kuat dugaan bahwa jasa pengobatan alternatif telah membeli jam siar lembaga penyiaran untuk berpromosi. Tentu sangat sulit untuk membuktikan bahwa telah terjadi jual beli jam siaran, sebelum mendapatkan bukti kuitansi pembayaran. Terkadang diakali dengan mengatakan program siaran disponsori oleh jasa pengobatan alternatif atau produk obat herbal. Namun layaknya sebuah program yang disponsori, maka lazimnya program siaran tersebut tidak menampilkan pihak sponsor secara utuh dalam satu program siaran. Sesuai aturan waktu siar lembaga penyiaran dilarang untuk dikomersialkan selain untuk iklan. Pasal 46 ayat (10) secara jelas menyebutkan “waktu siar lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapapun untuk kepentingan apapun, kecuali untuk siaran iklan. Pelanggaran terhadap pasal ini dapat dikenakan pidana sesuai pasal 59 Undang-Undang Penyiaran. Dalam pasal 59 Undang-Undang Penyiaran disebutkan bahwa “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (10) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 200 juta untuk penyiaran radio dan paling banyak Rp. 2 miliar untuk penyiaran televisi. Komersialisasi waktu siar lembaga penyiaran memang telah terjadi. Komersialisasi melalui dialog satu jam merupakan pelanggaran yang harus segera ditindak. Dalam pasal 46 ayat (8) disebutkan “waktu siar iklan niaga untuk lembaga penyiaran swasta paling banyak 20 persen, sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling banyak 15 persen dari seluruh waktu siaran. Jika memakai asumsi dasar bahwa waktu siar rata-rata lembaga penyiaran di Bali adalah 18 jam maka untuk satu kali promosi jasa pengobatan alternatif dalam format dialog 1 jam telah menggunakan 5,55 persen jam siar. Jika kemudian ditambahkan dengan waktu siar iklan lainnya, bisa jadi jam siar iklan melebihi batas yang ditentukan. Belum lagi ditambahkan dengan waktu siar iklan layanan masyarakat. Berpedoman pada pasal 46 ayat (9) disebutkan bahwa “waktu siar iklan layanan masyarakat untuk lembaga penyiaran swasta paling sedikit 10 persen dari siaran iklan niaga, sedangkan lembaga penyiaran publik paling sedikit 30 persen dari siaran iklanya”. Pada kenyataanya sering kita temui satu lembaga siaran menayangkan 2 kali promosi jasa pengobatan alternatif dalam format dialog dalam satu hari. Tentunya akumulasi persentase waktu siar iklan akan melebihi dari ketentuan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perampasan ruang publik secara terencana dan sengaja, hanya semata-mata demi kepentingan bisnis. Permasalahan berikutnya adalah rata-rata promosi jasa pengobatan alternative dalam bentuk dialog ditayangkan pada waktu siar prime time. Tentunya harga tayang di waktu prime time dibandingkan waktu biasa cukup berbeda. Harga yang ditawarkan untuk waktu siar prime time tentu jauh lebih tinggi. Padahal seharusnya waktu siar prime time lebih banyak untuk informasi layanan publik. Publik mempunyai hak untuk mempertayakan jika sebagian besar waktu prime time digunakan untuk komersialisasi. Pada sisi lain, promosi pengobatan alternatif dalam bentuk iklan tidak saja ditayangkan pada program siaran khusus dewasa. Sering sekali dapat ditemui penayangan iklan jasa pengobatan alternatif pada program siaran untuk anak. Tentu sangat beresiko, sebab anak-anak dapat menafsirkan berbeda terkait pesan yang disampaikan dalam iklan pengobatan alternatif. Menjadi catatan bagi lembaga penyiaran untuk lebih berhati-hati dalam menerima dan menayangkan tayangan promosi pengobatan alternatif. Lembaga penyiaran juga harus melakukan sensor internal secara ketat. Penulis : I Nengah Muliarta Komisioner Bidang Kelembagaan KPID Bali

Komentar

Postingan Populer