Antara Perda Sampah dan Sampah Perda




Antara Perda Sampah dan Sampah Perda 

Secara aturan, Bali menunjukkan langkah maju dalam pengelolaan sampah. Bali kini telah memiliki aturan hukum tentang pengelolaan sampah dalam bentuk peraturan daerah (Perda) yaitu Perda no. 5 tahun 2011. Perda tertanggal 27 Juni 2011 tersebut seakan menjadi bukti komitmen pemerintah provinsi Bali dalam upaya mewujudkan Bali sebagai pulau clean and green. Komitmen hanya akan tetap menjadi komitmen jika aturan hukum yang dibuat gagal diimplementasikan. Walaupun perda tersebut telah dilengkapi dengan sanksi hukuman penjara ataupun sanksi dalam bentuk denda. Tantanganya sekarang adalah sejauh mana perda ini mampu diimplementasikan, tanpa selalu menyalahkan prilaku masyarakat yang belum sadar akan kebersihan lingkungan?
Kata sosialisasi selalu menjadi kata yang ampuh dalam memasyarakatkan aturan yang ada termasuk perda pengelolaan sampah. Kegagalan sosialisasi selama ini justru terjadi karena target sosialisasi belum sampai pada pelaku yang bersentuhan langsung dengan masalah sampah, seperti ibu rumah tangga dan pembantu rumah tangga. Sosialisasi pada ibu rumah tangga dan pembantu rumah tangga menjadi penting karena ibu rumah tangga dan pembantu rumah tangga menjadi saluran akhir akan dikemanakan atau diapakan sampah tersebut? Apalagi volume sampah rumah tangga di Bali cukup tinggi. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Bali menunjukkan volume sampah rumah tangga di Bali mencapai 10.182,1 meter kubik per hari pada 2008. Jika sosialisasi pengelolaan sampah beserta aturannya sampai pada tingkat ibu rumah tangga dan pembantu rumah tangga maka pengelolaan sampah berbasis rumah tangga akan menjadi semakin maksimal.
Berbicara masalah pengelolaan sampah, tentu tidak lepas dari masalah ketersediaan infrastruktur. Dalam pasal 7, poin (d) Perda pengelolaan sampah provinsi Bali termuat bahwa tugas dan wewenang gubernur yaitu memfasilitasi penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah. Ketersediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah akan mempermudah masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah. Paling tidak membuang sampah pada tempatnya dan tidak membuang disembarang tempat. Keterbatasan ketersediaan sarana tempat pembuangan sampah tidak jarang menyebabkan masyarakat membung sembarangan termasuk membuang ke badan sungai. Jadi tidaklah beralasan jika masyarakat dikatakan tidak sadar akan pengelolaan sampah jika ketersedian tempat sampah tidak memadai bahkan tidak tersedia. Padatnya pemukiman di sekitar sungai terutama di wilayah Kota Denpasar menjadi bukti bahwa ketiadaan tempat sampah di sekitar daerah sungai menyebabkan cukup banyak sampah yang dibuang ke sungai. Memang akan sangat membosankan mengatakan bahwa sungai bukan tempat sampah besar jika kenyataanya tidak ada tempat sampah untuk menampung sampah masyarakat yang tinggal di sekitar sungai.
Permasalahan lain dalam hal pengelolaan sampah adalah masalah pengangkutan sampah. Dalam pasal 21 disebutkan pemerintah kabupaten/kota mempunyai kewajiban untuk melakukan pengangkutan sampah. Pada kenyataanya sampah sering tidak terangkut hingga beberapa hari dengan alasan keterbatasan armada angkut dan jumlah personil. Dengan kondisi seperti ini apakah masih layak menyalahkan masyarakat dengan mengatakan masyarakat belum sadar dalam pengelolaan lingkungan. Pada pasal 21 poin (b) bahkan menyebutkan bahwa pemerintah menyediakan alat angkut sampah yang terpilih. Jika bunyi ayat tersebut kembali dibandingkan dengan implementasi di lapangan terlihat selama ini sampah malah dicampur kembali diatas truk pengangkut. Apalagi sampai saat ini tidak ada truk pengangkut yang memiliki penampungan sampah organic dan anorganik.
Satu hal yang cukup menarik dicermati dalam perda pengelolaan sampah provisi Bali adalah keberadaan sampah spesifik. Sampah spesifik yang dimaksud adalah sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3). Namun sayang dalam perda tidak dijelaskan seperti apa harusnya pengelolaan yang dapat dilakukan terhadap sampah B3 tersebut. Menjadi sebuah pertanyaan, apakah hal ini yang kemudian menyebabkan sampah yang masuk kategori B3 pengelolaanya dicampur dengan sampah rumah tangga? Padahal seharusnya sampah B3 harus mendapatkan perlakuan khusus seperti sampah dari dokter klinik atau dokter praktek umum serta sampah dari apotek. Selain itu pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan sampah B3 tidak dapat digabungkan dengan sampah lainnya.
Kedepan pemerintah provinsi Bali dan kabupaten kota di Bali perlu mengevaluasi kembali implementasi pengelolaan sampah. Jangan sampai aturan yang dibuat hanya untuk membela diri dari tudingan masyarakat yang menyatakan pemerintah gagal dalam melakukan pengelolaan sampah. Begitu juga jangan sampai pemerintah terus menerus menyalahkan masyarakat yang tidak sadar dalam menjaga kebersihan. Perda pengelolaan sampah seharusnya menjadi pedoman bersama dalam menangani masalah persampahan di Bali. Jangan sampai aturan tetang pengelolaan sampah hanya menjadi sampah aturan di waktu-waktu mendatang. Upaya membangun pola pengolahan sampah dari tingkat rumah tangga memang akan sangat membantu, tetapi keterbatasan lahan dan produksi sampah yang lebih tingggi dari kemampuan mengolah akan menyebabkan masyarakat membuang keluar rumah.



Secara aturan, Bali menunjukkan langkah maju dalam pengelolaan sampah. Bali kini telah memiliki aturan hukum tentang pengelolaan sampah dalam bentuk peraturan daerah (Perda) yaitu Perda no. 5 tahun 2011. Perda tertanggal 27 Juni 2011 tersebut seakan menjadi bukti komitmen pemerintah provinsi Bali dalam upaya mewujudkan Bali sebagai pulau clean and green. Komitmen hanya akan tetap menjadi komitmen jika aturan hukum yang dibuat gagal diimplementasikan. Walaupun perda tersebut telah dilengkapi dengan sanksi hukuman penjara ataupun sanksi dalam bentuk denda. Tantanganya sekarang adalah sejauh mana perda ini mampu diimplementasikan, tanpa selalu menyalahkan prilaku masyarakat yang belum sadar akan kebersihan lingkungan?
Kata sosialisasi selalu menjadi kata yang ampuh dalam memasyarakatkan aturan yang ada termasuk perda pengelolaan sampah. Kegagalan sosialisasi selama ini justru terjadi karena target sosialisasi belum sampai pada pelaku yang bersentuhan langsung dengan masalah sampah, seperti ibu rumah tangga dan pembantu rumah tangga. Sosialisasi pada ibu rumah tangga dan pembantu rumah tangga menjadi penting karena ibu rumah tangga dan pembantu rumah tangga menjadi saluran akhir akan dikemanakan atau diapakan sampah tersebut? Apalagi volume sampah rumah tangga di Bali cukup tinggi. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Bali menunjukkan volume sampah rumah tangga di Bali mencapai 10.182,1 meter kubik per hari pada 2008. Jika sosialisasi pengelolaan sampah beserta aturannya sampai pada tingkat ibu rumah tangga dan pembantu rumah tangga maka pengelolaan sampah berbasis rumah tangga akan menjadi semakin maksimal.
Berbicara masalah pengelolaan sampah, tentu tidak lepas dari masalah ketersediaan infrastruktur. Dalam pasal 7, poin (d) Perda pengelolaan sampah provinsi Bali termuat bahwa tugas dan wewenang gubernur yaitu memfasilitasi penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah. Ketersediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah akan mempermudah masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah. Paling tidak membuang sampah pada tempatnya dan tidak membuang disembarang tempat. Keterbatasan ketersediaan sarana tempat pembuangan sampah tidak jarang menyebabkan masyarakat membung sembarangan termasuk membuang ke badan sungai. Jadi tidaklah beralasan jika masyarakat dikatakan tidak sadar akan pengelolaan sampah jika ketersedian tempat sampah tidak memadai bahkan tidak tersedia. Padatnya pemukiman di sekitar sungai terutama di wilayah Kota Denpasar menjadi bukti bahwa ketiadaan tempat sampah di sekitar daerah sungai menyebabkan cukup banyak sampah yang dibuang ke sungai. Memang akan sangat membosankan mengatakan bahwa sungai bukan tempat sampah besar jika kenyataanya tidak ada tempat sampah untuk menampung sampah masyarakat yang tinggal di sekitar sungai.
Permasalahan lain dalam hal pengelolaan sampah adalah masalah pengangkutan sampah. Dalam pasal 21 disebutkan pemerintah kabupaten/kota mempunyai kewajiban untuk melakukan pengangkutan sampah. Pada kenyataanya sampah sering tidak terangkut hingga beberapa hari dengan alasan keterbatasan armada angkut dan jumlah personil. Dengan kondisi seperti ini apakah masih layak menyalahkan masyarakat dengan mengatakan masyarakat belum sadar dalam pengelolaan lingkungan. Pada pasal 21 poin (b) bahkan menyebutkan bahwa pemerintah menyediakan alat angkut sampah yang terpilih. Jika bunyi ayat tersebut kembali dibandingkan dengan implementasi di lapangan terlihat selama ini sampah malah dicampur kembali diatas truk pengangkut. Apalagi sampai saat ini tidak ada truk pengangkut yang memiliki penampungan sampah organic dan anorganik.
Satu hal yang cukup menarik dicermati dalam perda pengelolaan sampah provisi Bali adalah keberadaan sampah spesifik. Sampah spesifik yang dimaksud adalah sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3). Namun sayang dalam perda tidak dijelaskan seperti apa harusnya pengelolaan yang dapat dilakukan terhadap sampah B3 tersebut. Menjadi sebuah pertanyaan, apakah hal ini yang kemudian menyebabkan sampah yang masuk kategori B3 pengelolaanya dicampur dengan sampah rumah tangga? Padahal seharusnya sampah B3 harus mendapatkan perlakuan khusus seperti sampah dari dokter klinik atau dokter praktek umum serta sampah dari apotek. Selain itu pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan sampah B3 tidak dapat digabungkan dengan sampah lainnya.
Kedepan pemerintah provinsi Bali dan kabupaten kota di Bali perlu mengevaluasi kembali implementasi pengelolaan sampah. Jangan sampai aturan yang dibuat hanya untuk membela diri dari tudingan masyarakat yang menyatakan pemerintah gagal dalam melakukan pengelolaan sampah. Begitu juga jangan sampai pemerintah terus menerus menyalahkan masyarakat yang tidak sadar dalam menjaga kebersihan. Perda pengelolaan sampah seharusnya menjadi pedoman bersama dalam menangani masalah persampahan di Bali. Jangan sampai aturan tetang pengelolaan sampah hanya menjadi sampah aturan di waktu-waktu mendatang. Upaya membangun pola pengolahan sampah dari tingkat rumah tangga memang akan sangat membantu, tetapi keterbatasan lahan dan produksi sampah yang lebih tingggi dari kemampuan mengolah akan menyebabkan masyarakat membuang keluar rumah.

Komentar

Postingan Populer