Iklan Kampanye Politik di Lembaga Penyiaran, Haruskah Korbankan Hak Publik?

Iklan Kampanye Politik di Lembaga Penyiaran, Haruskah Korbankan Hak Publik?

Denpasar-Iklan kampanye politik menjadi salah satu sumber pemasukan bagi lembaga penyiaran, terutama pada masa pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Lembaga riset Nielsen mengumumkan belanja iklan media di Indonesia mencapai Rp. 87 triliun lebih sepanjang 2012. Nilai tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan sekitar 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Televisi masih mendominasi pangsa iklan dengan meraup 64 persen dari total belanja iklan. Telekomunikasi yang mengalami penurunan belanja iklan 15 persen masih menjadi pengiklan terbesar di semua media dengan menghabiskan lebih dari Rp.4,9 triliun. Pengiklan kedua terbesar adalah kategori pemerintahan/partai politik dengan belanja iklan lebih dari Rp. 4,3 triliun.(viva.co.id, 6 Maret 2013). Sedangkan Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), AM Adhy Trisnanto mengatakan, tahun 2012 belanja iklan secara nasional sebesar Rp. 100 triliun. Dari jumlah itu, 60 persennya diserap televisi. .(viva.co.id, 14 Pebruari 2013)

Iklan kampanye politik sudah mulai marak ditayangkan oleh lembaga penyiaran jauh hari sebelum masa kampanye ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Satu sisi, partai politik dan para elit politik tidak ingin ketinggalan start untuk memperkenalkan diri serta menyampaikan visi-misi. Partai politik dan elit politik tentunya ingin namanya familiar di masyarakat. Pada sisi lain, lembaga penyiaran tidak ingin kehilangan pendapatan. Keinginan partai politik dengan elit politiknya dan target pendapatan dari lembaga penyiaran ibarat gayung bersambut  dengan harapan mendapatkan keuntungan lebih. Tentunya upaya mendapatkan simpati yang dilakukan oleh parpol dan elit politik harus tetap memperhatikan tahapan pelaksanaan pemilu. Begitu juga upaya mendapatkan keuntungan dari iklan politik yang dilakukan lembaga penyiaran harus memperhatikan kepentingan publik sebagai pemilik frekuensi.

Pada pasal 6 ayat (2) Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran menyebutkan bahwa frekuensi sebagai sumber daya alam yang terbatas dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Penyalahgunaan frekuensi untuk kepentingan kelompok tertentu merupakan bentuk penyalahgunaan amanat rakyat. Padahal rakyat sangat berharap mendapatkan haknya berupa hiburan yang sehat, informasi yang seimbang dan pendidikan dari pengelolaan frekuensi yang dilakukan oleh lembaga penyiaran.

Dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang standar program siaran pada pasal pasal 11 ayat (1) disebutkan bahwa “program siaran wajib dimanfaatkan untuk kepentingan public dan tidak untuk kepentingan kelompok tertentu”. Pada ayat (2) disebutkan bahwa “program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran bersangkutan dan/atau kelompoknya”. Seharusnya dua ayat pada pasal 11 ini menjadi pedoman dan batasan bagi lembaga penyiaran sebelum memutuskan untuk menayangkan iklan politik sebelum masa kampanye. Target lembaga penyiaran untuk meningkatkan pendapatan melalui iklan kampanye merupakan hal yang wajar, tetapi caranya bukan dengan melabrak aturan yang ada. Lembaga penyiaran tentunya bisa meraup pendapatan lebih dari iklan politik pada masa kampanye, bukan merendahkan diri dengan menerima penayangan iklan kampanye sebelum masa kampanye berlaku.

Pelanggaran terhadap undang-undang atau peraturan tentu ada sanksinya. Rendahnya saksi seharusnya bukan menjadi alasan untuk melanggar aturan yang ada. Tanggungjawab dan komitmen dalam mengelola frekuensi harusnya menjadi acuan. Memang harus diakui sanksi bagi lembaga penyiaran yang melanggar masih ringan. Sanksi yang diberikan KPI hanya teguran tertulis, penghentian sementara mata acara, pembatasan durasi hingga denda adminitrasi. Sanksi yang paling berat berupa pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran, dan itu juga baru bisa dilakukan setelah proses peradilan. Seharusnya lembaga mampu memberi contoh bagi public untuk tidak melanggar aturan. Mengingat selama ini lembaga penyiaran melalui program siarannya selalu menganjurkan masyarakat untuk mematuhi aturan. Jadi sangat tidak elegan jika selama ini lembaga penyiaran yang selalu mendorong masyarakat untuk patuh dan taat hukum justru menjadi contoh buruk bagi masyarakat.

Bagi partai politik dan calon legislatif tentunya telah mengetahui tata cara dan masa waktu berkampanye di lembaga penyiaran. Pasal 83 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dan Peraturan KPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, bahwa pelaksanaan Kampanye Pemilu melalui media penyiaran adalah 21 (dua puluh satu) hari sebelum masa tenang terhitung dari tanggal 16 Maret 2014 hingga 5 April 2014

Dalam Undang-Undang no. 8 tahun 2012 juga sudah sangat jelas diuraikan aturan berkampanye di lembaga penyiaran. Pada pasal 97 ayat (1) disebutkan batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di televisi untuk setiap peserta pemilu secara komulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap televisi setiap hari. Pada ayat (2) disebutkan batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di radio untuk setiap peserta pemilu secara komulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 60 detik untuk setiap televisi setiap hari. Pembatasan ini jelas memiliki makna untuk mewujudkan keadilan dan memberikan kesempatan yang merata bagi seluruh peserta pemilu.

Batasan bagi lembaga penyiaran juga telah diberikan dalam Undang-Undang no. 8 tahun 2012. Pasal 96 ayat  memuat lembaga penyiaran dilarang menjual blocking time untuk kampanye pemilu. Lembaga penyiaran dilarang menerima program sponsor dalam format atau segmen apapun yang dapat dikategorikan sebagai iklan kampanye pemilu. Tentunya ini untuk menghidari dominasi oleh salah satu peserta pemilu. Dalam hal harga iklan kampanye juga telah diamanatkan dalam pasal 98 ayat (2) bahwa lembaga penyiaran wajib menentukan standar tarif iklan kampanye pemilu komersial yang berlaku sama untuk setiap peserta pemilu.

Jika kembali pada pemikiran bahwa frekuensi merupakan hak publik maka lembaga penyiaran wajib memberikan pendidikan politik bagi public. Pendidikan politik tersebut tidak hanya dalam bentuk berita maupun dialog, tetapi juga dalam bentuk iklan layanan masyarakat. Tentunya iklan layanan masyarakat yang non-partisan. Iklan layanan masyarakat tersebut dapat berupa ajakan untuk menggunakan hak suara dalam pemilu. Himbauan untuk memilih sesuai hati nurani dan termasuk pengetahuan akan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemilu. Secara umum iklan layanan masyarakat tersebut dalam bentuk sosialisasi pemilu dan proses tahapannya.

Maraknya iklan politik sebelumnya masa kampanye selama ini menjadi perhatian banyak pihak. Apalagi iklan politik para pemilik media penyiaran yang juga turut memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden. Kondisi ini tentunya sangat meresahkan, sebab spectrum frekuensi yang merupakan ruang public pemanfaatanya telah dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan pribadi ataupun kelompoknya. Sebagai bentuk jawaban atas keresahan itu KPI bersama KPU, KIP dan Bawaslu telah melakukan penandatanganan yang berisikan 9 kesepakatan. Kesepakatan yang ditandatangani 28 Februari 2014 tersebut salah satunya memuat himbauan kepada lembaga penyiaran dan peserta pemilu untuk menghentikan penyiaran iklan kampanye politik sebelum jadwal pelaksanaan Kampanye Pemilu. Selama masa tenang mendatang, lembaga penyiaran juga diingatkan untuk tidak menyiarkan pemberitaan, rekam jejak, dan/atau program-program informasi yang mengandung unsur Kampanye Pemilu Peserta Pemilu. Termasuk untuk tidak menyiarkan iklan kampanye Pemilu dan menyiarkan hasil survei atau jajak pendapat tentang elektabilitas Peserta Pemilu.

Sementara dalam hal dalam pemberitaan Kampanye Pemilu, Lembaga Penyiaran wajib menyediakan waktu yang cukup, adil, berimbang, proporsional, dan netral serta tidak mengutamakan kepentingan kelompok dan golongan tertentu sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan. Terkait penayangan pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu, Lembaga Penyiaran hanya boleh menyiarkan prakiraan hasil penghitungan cepat dari lembaga yang telah memperoleh izin dari Komisi Pemilihan Umum dan disiarkan paling cepat 2 (dua) jam setelah pemungutan suara selesai di wilayah Indonesia bagian barat.

Walaupun aturan telah ada dan kesepakatan telah ditandatangani, pelanggaran masih tetap saja terjadi. Tanpa harus menyebutkan nama partai, nama lembaga penyiaran dan nama caleg, masyarakat sudah melihat dan sudah mengetahui pihak-pihak yang melanggar. Dengan mengabaikan hak public sebagai pemilik frekuensi para calon presiden dan partai politiknya tetap gencar menawarkan visi-misi. Dengan logika sederhana masyarakat sudah dapat menilai, baru menjadi calon presiden dan calon legislatif saja sudah melakukan pelanggaran bagimana nantinya saat memegang jabatan atau kekuasaan. Apakah kemudian para calon presiden, calon legislatif dan partai seperti itu layak untuk dipilih? Begitu juga bagi lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran, apakah masih tetap layak untuk diberikan perpanjangan izin kedepannya? Tentunya KPI telah melakukan pencatatan terhadap pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran. Catatan pelanggaran tersebut nantinya akan menjadi pertimbangan dalam pemberian izin perpanjangan pengelolaan frekuensi kedepannya.

Iklan kampanye politik yang gencar dan berlebihan kenyataanya bukan hanya melanggar hak publik di lembaga penyiaran tetapi juga bentuk dominasi dan arogansi. Iklan politik yang berlebihan juga menunjukkan ketidakpekaan para peserta pemilu terhadap kondisi masyarakat. Para calon presiden dan calon legislatif serta partai tentunya harus mengeluarkan biaya tinggi untuk membiayai iklan politik di lembaga penyiaran. Sedangkan masih cukup banyak masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Lembaga penyiaran, parpol dan caleg tentunya diharapkan jangan terus mencari celah untuk menyalahgunakan frekuensi. Jangan sampai justru lembaga penyiaran, parpol dan caleg melakukan pembodohan terhadap masyarakat dengan memberi contoh untuk melanggar. Lembaga penyiaran tentunya sangat paham bahwa izin pengelolaan frekuensi tidak diberikan seumur hidup. Sehingga sudah selayaknya penggunaan frekuensi lebih pada kepentingan public bukan pada kelompok, pemilik media atau kepentingan bisnis semata.

Komentar

Postingan Populer