Siaran Nyepi dan Nyepi Siaran di Bali
Siaran
Nyepi dan Nyepi Siaran di Bali
Istilah
Nyepi (perayaan hari tahun baru
saka) di Bali sangat identik dengan menghentikan seluruh aktivitas
selama satu hari penuh. Bagi umat Hindu Bali, Nyepi merupakan waktunya untuk
melaksanakan Catur Brata Penyepian. Catur Brata merupakan empat pantangan yang
harus dihindari oleh umat Hindu ketika pelaksanaan Nyepi. Catur Brata Penyepian
tersebut meliputi Amati Geni (tidak menyalakan api), Amati Karya (tidak
melakukan pekerjaan), Amati Lelungan (tidak bepergian) dan Amati Lelanguan
(tidak berpesta pora/menikmati hiburan).
Nyepi
tidak sebatas memiliki arti menghentikan kegiatan manusia, namun juga
memberikan kesempatan bagi alam untuk terbebas dari berbagai gangguan. Nyepi merupakan salah satu aksi nyata dalam
upaya penyelamatan lingkungan. Konsep Nyepi memiliki nilai-nilai positif dalam
upaya penyelamatan alam, kebersihan udara dan pengendalian pencemaran
lingkungan. Berdasarkan hasil pemantauan Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim
menunjukkan Nyepi mampu mengurangi emisi dari sektor transportasi laut dan
udara mencapai 20.000 ton.
Dalam pelaksanaan Nyepi selalu diikuti dengan
penghentian seluruh siaran televisi dan radio di Bali. Komisi Penyiaran
Indonesia Daerah (KPID) Bali juga rutin mengeluarkan surat himbauan kepada
lembaga penyiaran untuk menghentikan siaranya di Bali selama satu hari saat
pelaksanaan Nyepi. Pada awalnya beberapa media penyiaran masih mengabaikan
himbauan tersebut. Berbagai alasan muncul, mulai dari kontrak iklan, rating,
hingga permintaan agar umat yang melakukan Nyepi saja yang mematikan atau tidak
menonton TV dan mendengarkan radio. Pada sisi lain, masih ada juga yang
mempertanyakan seberapa pentingnya penghentian siaran saat Nyepi? Lebih ekstrim
lagi ada yang berpandangan bahwa penghentian siaran tidak diperlukan karena di
Bali ada umat agama lain yang membutuhkan hiburan. Menanggapi berbagai ungkapan
dan pertanyaan yang ada tentunya perlu penyamaan pandangan dan persepsi agar
tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan.
KPID Bali rutin setiap tahun mengeluarkan surat
himbauan penghentian siaran selama 24 jam saat Nyepi dengan tujuan menghormati
dan mendukung kehidmatan umat Hindu di Bali dalam melakukan catur Brata
Penyepian. Jika menyalakan lampu atau menghidupkan TV dan Radio saat Nyepi
tentunya tidak sesuai dengan konsep Amati Geni (tidak menyalakan api). Dimana
menyalakan lampu, TV dan radio memerlukan energi listrik. Energi listrik
tersebut jika kita artikan dalam bahasa sederhana sama dengan percikan api.
Dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 pasal 4 ayat (1)
disebutkan “penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa
mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat dan
perekat social”. Tentunya siaran di saat Nyepi bertentangan dengan konsep Amati
Lelanguan (tidak bersenang-senang/menikmati hiburan). Pada pasal 4 ayat (2)
disebutkan “…penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan”. Hal ini
memiliki arti bahwa penyiaran selain sebagai bisnis juga memiliki peran dalam
melestarikan kebudayaan. Dalam hal ini Nyepi menjadi suatu tradisi masyarakat
Hindu Bali yang juga harus dihormati oleh lembaga penyiaran.
Melihat lebih jauh pada pasal 5 poin (b) Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 disebutkan bahwa penyiaran diarahkan untuk menjaga dan
meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa. Tegas
sekali disebutkan bahwa lembaga penyiaran berperan dalam meningkatkan moralitas
dan nilai-nilai agama. Sementara Nyepi mengandung nilai-nilai agama Hindu dan
agama Hindu merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia. Kemudian pada
pasal 5 poin (J) disebutkan bahwa penyiaran diarahkan untuk memajukan
kebudayaan nasional. Jelas tersirat bahwa penyiaran memiliki peran penting
memajukan kebudayaan nasional. Sedangkan Nyepi merupakan bagian kebudayaan
nasional yang ada di Bali.
Secara
umum dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran disebutkan bahwa
spektrum frekuensi merupakan sumber daya alam yang terbatas dan milik publik. Frekuensi yang
dikategorikan sebagai milik publik tentunya harus digunakan demi kepentingan
publik dan menghormati hak publik. Nyepi dalam hal ini merupakan hak publik
bagi umat Hindu di Bali untuk terbebas dari siaran TV dan radio selama satu
hari penuh. Sangat tidak elegan jika kemudian lembaga penyiaran mengabaikan
himbauan KPID Bali. Jika tetap diabaikan berarti lembaga penyiaran tersebut
tidak menghargai hak publik, termasuk tidak menghargai kepentingan pemilik
frekuensi.
Mengimplementasikan
Undang-Undang
nomor 32 tahun 2002 tentunya menjadi kewajiban bagi lembaga penyiaran.
Melanggar salah satu poin saja tentunya menjadi catatan buruk bagi lembaga
penyiaran. Sangat tidak elok jika lembaga penyiaran yang selama ini mengawal
implementasi berbagai undang-undang kemudian mengingkari apa yang tertuang
dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2002. Lembaga penyiaran yang selama ini
selalu gencar menyerukan kepada berbagai pihak untuk taat hukum tentunya juga
harus bisa lebih taat pada aturan hukum.
Ungkapan bahwa
lembaga penyiaran merugi saat Nyepi tentunya tidak sepenuhnya benar. Lembaga
penyiaran nasional masih tetap bersiaran seperti biasa, hanya saja stasiun
pemancar yang di wilayah Bali yang dimatikan selama Nyepi. Berbeda dengan
lembaga penyiaran lokal yang ada di Bali yang harus menghentikan siarannya
selama 24 jam. Selanjutnya apakah lembaga penyiaran rugi besar akibat kontrak
iklan yang tidak tayang atau turunya rating lembaga penyiaran? Jika dilihat
dari segi bisnis memang ada pemasukan yang berkurang bagi lembaga penyiaran. Namun
dari segi efisiensi penggunaan energi listrik maka lembaga penyiaran telah
mengurangi biaya penggunaan listrik selama satu hari. Lembaga penyiaran juga
dapat mengistirahatkan stasiun pemancarnya. Dengan mengistirahatkan stasiun
pemancar selama satu hari dalam setahun tentunya peralatan stasiun pemancar
dapat digunakan lebih lama.
Mematikan
siaran selama satu hari saat Nyepi berarti lembaga penyiaran secara tidak
langsung juga telah turut serta dalam upaya mengurangi emisi karbondioksida. Dimana
emisi karbondioksida akan berdampak pada pemanasan global. Dengan menghentikan
siaran selama satu hari menjadi langkah awal bagi lembaga penyiaran untuk melakukan
efisiensi penggunaan listrik. Seperti diketahui bersama bahwa hampir
keseluruhan energi listrik yang digunakan di Bali dibangkitkan dengan
menggunakan solar. Tentu sangat disayangkan jika lembaga penyiaran tidak
mendukung upaya pengurangan terhadap emisi gak buang. Padahal selama ini media
penyiaran melalui pemberitaanya sangat gencar menyerukan dan memberitakan upaya
pengurangan emisi karbondioksida dalam upaya mengatasi pemanasan global.
Nyepi kini
telah diakui sebagai bagian dari langkah nyata dalam menanggulangi pemanasan
global. Konsep Nyepi juga telah mengilhami gerakan hari hening sedunia atau yang
lebih keren disebut sebagai “World Silent Day (WSD)”. WSD
yang dilaksanakan pada setiap tanggal 21 Maret ini merupakan salah satu upaya
mengurangi dampak perubahan iklim. Konsep dan nilai Nyepi tentunya sangat
sejalan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah
kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan
internasional pada tahun 2020.
Walaupun
lembaga penyiaran diminta menghentikan siaran (Nyepi siaran) di Bali saat
pelaksanaan Nyepi, namun Lembaga penyiaran terutama TV tetap diberikan
kesempatan untuk mengabadikan pelaksanaan Nyepi untuk disiarkan di luar Bali.
Tentunya proses peliputan kegiatan Nyepi harus tetap berpedoman pada kode etik
jurnalistik dan awig-awig (aturan hukum adat) yang berlaku di tiap desa adat.
Proses peliputan juga harus berkoordinasi dengan pecalang dan tokoh adat di
desa setempat. Seperti kata pepatah
“dimana bumi dipijak disana langit dijungjung”.
Sebagai
sebuah kearifan lokal yang telah diakui dunia, sepatutnya lembaga penyiaran
turut serta melestarikan konsep dan pelaksanaan Nyepi. Saatnya lembaga
penyiaran memberikan contoh dan memberikan penghormatan bagi karifan local yang
ada di Indonesia, khususnya Bali. Apalagi selama ini lembaga penyiaran secara
langsung dan tidak langsung berulangkali menyerukan kepada masyarakat melalui
pemberitaan untuk melestarikan kearifan local dan menjaga kebudayaan. Jika hal
ini mampu dilaksanakan maka menghentikan siaran selama satu hari penuh akan
menjadi ciri khas bagi lembaga penyiaran di Bali. Hal ini juga menjadi bukti
bahwa lembaga penyiaran di Bali telah turut serta melestarikan budaya dan
memberikan penghormatan pada nilai-nilai agama.
Komentar
Posting Komentar