Dituntut Profesional, Jurnalis Dihargai Upah Minimalis



Dituntut Profesional, Jurnalis Dihargai Upah Minimalis
Rendahnya upah dan kesejahteraan jurnalis masih menjadi catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Berdasarkan survei AJI Indonesia terhadap 192 jurnalis dari 48 media di tujuh kota, yaitu Jakarta, Banda Aceh, Medan, Lampung, Bandung, Solo, dan Palu, masih ditemukan jurnalis yang digaji di bawah standar Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK).
Survei di Bali dilakukan terhadap 10 media lokal, cetak, televisi maupun online. Masing-masing media melibatkan dua orang dengan status karyawan tetap dan kontrak. 10 media lokal itu di antaranya Radar Bali, Bali Post, Nusa Bali, Warta Bali, Fajar Bali, Global FM, Dewata TV, Bali TV, BeritaBali.Com, dan JurnalBali.Com.  Dalam survey tersebut terungkap bahwa gaji (take home pay) wartawan di Bali rata rata Rp 1-2 juta. Jumlah tersebut adalah jumlah gaji di luar asuransi, tunjangan prestasi dan bonus tahunan. Hanya saja, pada beberapa media, gaji yang mereka peroleh adalah gaji murni. Artinya, dalam setahun bekerja mereka hanya mendapatkan gaji pokok. Sementara asuransi, tunjangan dan bonus tahunan yang seharusnya mereka peroleh berdasarkan UU Tenaga Kerja, tidak mereka dapatkan.Sedangkan berdasarkan survei upah layak jurnalis 2011 diperoleh angka Rp 3.894.583. Nilai ini diperoleh dari hasil survei di tiga lokasi berbeda. Yakni di Pasar Kumbasari, Robinson Mall dan Tiara Dewata.
Upah dan kesejahteraan yang rendah dikhawatirkan bisa membuat jurnalis menjadi pragmatis, rentan terhadap suap, dan tidak independen terhadap kekuatan di luar profesinya. Dengan kata lain, dapat disimpulkan: semakin rendah upah, semakin besar toleransi jurnalis terhadap amplop. Bagi AJI, menghitung standar upah jurnalis menggunakan UMK, seperti ditetapkan Dewan Pers, jelas tidak memadai. Sebab, standar UMK sangat jauh untuk mememenuhi kebutuhan minimal orang yang bekerja sebagai jurnalis. Inilah yang membuat AJI mendorong adanya standar yang berbeda dalam pengupahan jurnalis. Argumentasi untuk menetapkan standar tersendiri ini cukup rasional, yakni besarnya tanggung jawab dari profesi ini.
Dengan gaji yang minimal, jurnalis dituntut untuk bekerja secara maksimal. Dalam implementasinya dilapangan seorang jurnalis cetak misalnya dibebani dengan target 2-4 berita dalam satu hari. Ketika melakukan kegiatan liputan tidak jarang seorang jurnalis hanya bermodalkan sebuah buku catatan dan sebuah telephon gengam (HP) yang berfungsi sebagai alat komunikasi dan alat perekam. Kondisinya memang cukup ironis karena HP yang digunakan cenderung merupakan milik pribadi dengan pulsa yang harus di beli dengan uang sendiri. Dengan fasilitas terbatas dan gaji minimal seorang jurnalis wajib bekerja secara profesional. Bagi jurnalis di daerah kondisinya lebih parah, karena kecenderungan yang terjadi kendaraan yang digunakan untuk melakukan kegiatan liputan merupakan milik pribadi. Begitu juga uang untuk membeli bensin harus ditanggung sendiri.
Jika kembali berbicara tentang gaji pokok yang diterima jurnalis, dapat dilihat bahwa gaji pokok yang diterima menjadi penghasilan kotor. Gaji pokok menjadi terpotong dengan biaya pulsa, bensin dan biaya makan yang harus ditanggung sendiri. Belum lagi biaya kesehatan, karena perusahan media tidak memberikan jaminan kesehatan. Apakah kondisi ini menjadi petunjuk bahwa sebenarnya jurnalis sedang mengalami perburuhan. Padahal seorang jurnalis merupakan seorang professional yang bekerja berdasarkan keahlian, berpendidikan dan bekerja sesuai kode etik jurnalistik. Bila dikatakan seorang profesional menjadi sangat ironis karena upah yang diterima setara dengan buruh, terkadang pada beberapa kasus lebih rendah dari buruh.
Jurnalis media online mengalami kondisi yang lebih buruk. Seorang jurnalis media online tidak jarang hanya mendapatkan bayaran Rp. 10.000- Rp. 15.000 untuk satu berita yang di kirim. Berita tersebut juga hanya akan dibayar jika berita yang dikirim tayang. Jurnalis media online dalam kenyataanya tidak saja dituntut menuliskan berita tetapi juga harus lengkap dengan foto. Dimanakah diletakkan penghargaan terhadap profesionalisme seorang jurnalis? Seorang buruh bangunan saja di Bali dalam satu hari bisa mendapatkan upah sekitar Rp. 75.000 – 100.000 perhari. Cukup ironis memang penghargaan terhadap jurnalis saat ini. Jurnalis yang selalu dengan semangat menulis perjuangan buruh yang menuntut kenaikan upah minimum, nyatanya upah jurnalis lebih minimalis.
Jurnalis televisi dan radio memiliki nasib yang hampir sama. Jurnalis televisi kondisinya lebih baik, karena perusahaan cenderung menyediakan kendaraan dan alat berupa kamera untuk mendukung tugas jurnalis. Namun dari segi upah memang tidak jauh berbeda. Kisarannya upah untuk wilayah Bali sekitar Rp. 1-2 juta. Sedangkan untuk kontributor, upah yang diterima cukup beragam mulai Rp. 100.000 – 500.000 per-berita tayang. Sementara untuk reporter radio, kondisinya tidak jauh berbeda dengan nasib jurnalis online. Jurnalis radio tidak jarang juga harus membeli peralatan dengan biaya sendiri.
Jurnalis dalam melaksanakan tugas liputan, reportase atau investigasi diingatkan oleh editor, redaktur atau bahkan pemimpin redaksi untuk tidak menerima sogokan. Larangan tersebut juga tertulis dengan jelas di kode etik jurnalistik. Larangan bagi jurnalis menerima sogokan atau amplop tersebut menjadi harga mati bagi perusahaan media. Redaksi media bahkan mencantumkan larangan menerima sogokan tersebut dalam media masing-masing. Pada media televisi larangan tersebut dimunculkan berkali-kali dalam running teks. Larangan menerima sogokan seakan-akan menjadi salah satu pembentuk citra bahwa redaksi media independent. Pertanyaanya kemudian, jika seorang jurnalis menerima sogokan, apakah kemudian kesalahan tersebut murni merupkan kesalahan seorang jurnalis secara pribadi? Perusahaan media seharusnya turut bertanggungjawab. Kebutuhan hidup yang tinggi dan gaji yang minimal memang tidak jarang menyebabkan jurnalis menerima sogokan. Kenaikan harga kebutuhan pokok yang juga tidak disertai dengan penyesuaian upah jurnalis akan berbuntut pada menurunya profesionalisme jurnalis.
Dalam perkembanganya beberapa tahun terakhir, tugas jurnalis tidak saja melakukan liputan dan membuat berita, tetapi juga mencari iklan. Tuntutan mencari iklan akan berbuntut pada tidak profesionalnya kinerja jurnalis. Jurnalis akan sulit bersikap kritis terhadap pemberi iklan. Apalagi jika pemberi iklan tersebut adalah humas pemerintah daerah. Tentunya jurnalis akan menghadapi dilema ketika akan menulis berita secara kritis, karena ada rasa enggan setelah mendapatkan iklan. Bila kondisi tersebut terus dibiarkan maka jurnalis tidak akan lagi mampu mengkritisi kebijakan pemerintah tetapi justru akan menjadi humas. Memang kemudian tidak dapat di pungkiri sangat sulit membedakan antara berita dengan advertorial (berita iklan). Belum lagi terdapat upaya secara sadar untuk menyelipkan sebuah iklan seolah-olah seperti berita. Kejadian tersebut tidak saja terjadi pada media cetak dan online, tetapi juga pada lembaga penyiaran. Jurnalis memang tidak mampu lari dari apa yang telah menjadi kebijakan perusahaan, karena menolak sama artinya dengan kehilangan pekerjaan. Dalam beberapa kasus, berita yang ditulis jurnalis bisa saja tidak terpakai atau dikesampingkan karena adanya berita iklan.
Semakin tingginya tuntutan perusahaan, jurnalis juga dituntut untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian. Namun perusahaan media cenderung tidak mau peduli, yang penting kemampuan jurnalisnya meningkat. Pelatihan secara berkala bagi jurnalis terutama yang di daerah juga sangat jarang dilakukan. Apalagi untuk mengadakan pelatihan perusahaan media harus mengeluarkan sejumlah dana.
Kesejahteraan jurnalis di Bali selama ini memang memprihatinkan. Pasal 10 Undang-Undang 40 tahun 1999 tentang pers memberi mandat kepada Perusahaan pers untuk memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. Kenyataanya gaji pokok jurnalis saja masih dibawah upah minimum. Apalagi perusahan media akan memberikan tunjangan atau bahkan membagikan laba bersih. Jika upah yang diterima oleh jurnalis saya sangat minimal, bagaimana mungkin jurnalis akan mampu bekerja secara maksimal. (I Nengah Muliarta/Anggota AJI Denpasar)

Komentar

Postingan Populer