Awasi Pelacuran Pemberitaan di Lembaga Penyiaran Saat Pilpres
Awasi
Pelacuran Pemberitaan di Lembaga Penyiaran Saat Pilpres
Masyarakat
di Indonesia nampaknya harus lebih cermat dalam menonton siaran televisi,
terutama selama masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) 2014. Termasuk dalam
menonton siaran berita yang disiarkan oleh televisi. Harus diakui pemberitaan
televisi saat ini cenderung partisan dan memihak pada pasangan calon presiden
dan wakil presiden. Padahal seharusnya lembaga penyiaran menyiarkan berita
secara independent. Faktanya beberapa televisi seakan menjadi humas dari
pasangan calon presiden dan wakil presiden. Berita-berita yang ditayangkan juga
selalu menguntungkan salah satu calon dan menyudutkan pasangan calon lainnya.
Hal ini menggambarkan bahwa telah terjadi pelacuran pemberitaan pada siaran
televisi.
Hasil
pemantauan pemberitaan tentang calon presiden dan wakil presiden yang
ditayangkan beberapa televisi sepanjang tanggal 19 Mei 2014 sampai dengan
tanggal 25 Mei 2014 oleh gugus tugas Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia
menemukan indikasi penyimpangan atas prinsip-prinsip independensi dan kecenderungan memanfaatkan
berita untuk kepentingan kelompok tertentu. Pemantauan dilakukan dengan mengacu
pada Kode Etik Jurnalistik dan Peraturan-Peraturan Dewan Pers dan Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Berdasarkan hasil
pemantauan terungkap dalam frekuensi pemberitaan, MetroTV memberikan porsi
pemberitaan yang lebih banyak kepada pasangan calon Jokowi-JK dibandingkan
pasangan calon Prabowo-Hatta. MetroTV juga memberikan porsi durasi yang lebih
panjang kepada pasangan calon Jokowi-JK dibanding pasangan calon Prabowo-Hatta.
Dalam frekuensi pemberitaan, TVOne memberikan porsi pemberitaan yang
lebih banyak kepada pasangan calon Prabowo-Hatta dibandingkan pasangan calon
Jokowi-JK. TVOne juga memberikan porsi durasi yang lebih panjang kepada
pasangan calon Prabowo-Hatta dibandingkan pasangan calon Jokowi-JK. Dalam
frekuensi pemberitaan, RCTI, MNC TV dan Global TV memberikan porsi
pemberitaan yang lebih banyak kepada pasangan calon Prabowo-Hatta dibandingkan
pasangan calon Jokowi-JK. RCTI, MNC TV dan Global TV juga memberikan
porsi durasi yang lebih panjang kepada pasangan calon Prabowo-Hatta
dibanding pasangan calon Jokowi-JK (kpi.go.id).
Berdasarkan catatan
KPI, untuk pasangan Prabowo-Hatta banyak diwartawakan oleh TV One, yakni
sebanyak 36.561 detik, MNC TV sebanyak 5.116 detik, ANTV sebanyak 3.223 detik,
RCTI sebanyak 4.714 detik, dan Global TV sebanyak 2.690 detik. Pada sisi lain,
pasangan Jokowi-JK lebih banyak disiarkan oleh Metro TV sebanyak 37.577 detik,
SCTV sebanyak 6.089 detik dan Indosiar sebanyak 3.354 detik. Pemberitaan
Jokowi-JK di Metro TV terdapat 187 item. Diantaranya, 184 item positif dan 3
item lainnya negatif. Sementara pemberitaan Prabowo-Hatta di Metro TV berisi 90
item dimana sebanyak 86 item diantaranya positif dan 4 item negatif. Sedangkan pemberitaan di TV One, pemberitaan Jokowi-JK ada 79 item,
dimana 73 item positif dan 6 item negatif. Sedangkan, Prabowo-Hatta ada 157
item, diantaranya 153 item positif dan 4 item netral.(nasional.kompas.com)
Sebagai
salah satu pilar demokrasi, media
khususnya televisi seharusnya tetap pada idiologinya dengan tidak berpihak pada
salah satu pasangan calon presiden. Kepentingan politik pemilik media televisi harus
diakui menjadi salah satu penyebab televisi melakukan pelacuran pemberitaan.
Jika kembali pada kode etik jurnalistik , pemberitaan di televisi harus dijaga
dari segala bentuk kepentingan, tekanan, campur tangan dan ancaman dari pihak
manapun. Independensi redaksi harus
mampu dijaga oleh para jurnalis mengingat lembaga penyiaran televisi
menggunakan frekuensi milik publik. Dalam pasal 36 Undang-Undang 32 tahun 2002
tentang penyiaran disebutkan bahwa lembaga penyiaran wajib menjaga netralitas
dan tidak boleh mengutamakan golongan tertentu saja. Isi siaran juga dilarang
bersifat memfitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong. Selain itu, dalam
Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang standar
program siaran dalam pasal 11 ayat (1) telah ditegaskan bahwa “program siaran
wajib dimanfaatkan untuk kepentingan public dan tidak untuk kepentingan
kelompok tertentu”. Pada ayat (2) juga telah ditegaskan bahwa “program siaran
dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran
bersangkutan dan/atau kelompoknya”. Selain itu, pada pasal 71 ayat (3) juga
dengan tegas disebutkan bahwa “program siaran dilarang memihak salah satu
peserta pemilihan umum dan/atau pemilihan umum kepala daerah”.
Pedoman dasar
yang mengingatkan media khususnya televisi untuk independent tidak saja
tertuang dalam Undang-Undang Penyiaran, P3, SPS dan kode etik jurnalistik.
Dalam undang-undang no. 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil
presiden, khususnya pada 42 ayat (2) disebutkan bahwa Media massa cetak dan
lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan Kampanye
harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh Pasangan Calon. Aturan telah
secara tegas memberikan batasan, kini tinggal komitmen dari lembaga penyiaran
khususnya televisi untuk mengiplementasikannya.
Peringatan atau
teguran telah dilayangkan oleh KPI kepada lembaga penyiaran TV atas pelanggaran
yang dilakukan. Tercatat ada 5 televisi yang telah diberikan peringatan yaitu
RCTI, TV One, Metro TV, Global TV dan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia. Berdasarkan
pemantauan, hasil analisis, dan pengaduan masyarakat tentang Pemberitaan
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 19 sampai dengan 25 Mei
2014, KPI menemukan adanya kecenderungan tidak diperhatikannya netralitas isi
siaran dan prinsip-prinsip jurnalistik oleh ke-5 televisi tersebut. Ketidaknetralan
dinilai dari adanya pemanfaatan isi siaran untuk kepentingan perorangan,
golongan dan/atau kelompok tertentu, yang semata-mata bukan untuk kepentingan
publik. Hal ini tentu bertentangan
dengan pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Penyiaran. Selain itu kelima televisi juga dinilai
mengabaikan prinsip keberimbangan. Buktinya, tidak diberikannya ruang atau
waktu pemberitaan yang sama kepada masing-masing pihak secara proporsional.
Kenyataanya teguran KPI hanya dianggap angin lalu. Lembaga penyiaran televisi
tetap jalan terus dengan sikap partisannya. Padahal masyarakat sangat berharap
lembaga penyiaran televisi memberikan informasi dan pemberitaan yang
independent. Jika pemberitaan lembaga penyiaran televisi tetap berpihak pada
salah satu pasangan calon dan mengabaikan teguran KPI, maka sama halnya dengan
kegiatan pelacuran pemberitaan.
Terdapat satu
hal yang menggelitik jika mencermati pemberitaan lembaga penyiaran televisi
terkait pilpres. Pada satu sisi dalam pemberitaanya beberapa televisi
mengabaikan konsep independent. Sementara pada sisi lainnya, pemberitaan
televisi mengulas secara mendalam dan berulang-ulang terkait netralitas TNI. Pemberitaan
tersebut juga menekankan pentingnya netralitas TNI dalam pilpres 2014. Namun
televisi lupa akan independensi pemberitaan yang harus dipegang dan dijadikan
pedoman. Seharusnya lembaga penyiaran televisi mampu menempatkan diri dulu,
sebelum mengkritik atau menilai fungsi dan tugas lembaga lainnya. Jangan sampai
lembaga penyiaran televisi hanya mampu mengkritisi pihak lain, tetapi gagal
mengevaluasi diri.
Bila dicermati
lebih mendalam sikap partisan lembaga penyiaran televisi tidak saja tergambarkan
dalam pemberitaan yang disiarkan. Sikap partisan pada salah satu pasangan calon
juga sangat terlihat dari promo program berita, dialog dan program-program
lainnya. Buktinya adalah pemilihan gambar, pemilihan insert dan durasi yang
disediakan. Sikap partisan televisi pada salah satu pasangan calon telah
membuat masyarakat gerah. Harapan dan desakan masyarakat terhadap KPI juga
sangat tinggi untuk menegakkan aturan. Beberapa masyarakat bahkan berharap KPI
mencabut izin lembaga penyiaran televisi tersebut. Namun sangat sayang
kewenangan KPI tidak sejauh itu. Sesuai Undang-Undang Penyiaran kewenangan KPI
hanya sebatas memberikan sanksi administratif dan memberikan rekomendasi kepada
pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Penulis :
I Nengah
Muliarta
Komisioner KPID
Bali
Komentar
Posting Komentar