Demokrasi Penyiaran di Bali Diantara Kepentingan Bisnis dan Egoisme Pemilik Media
Demokrasi Penyiaran di Bali Diantara Kepentingan
Bisnis dan Egoisme Pemilik Media
Dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang
penyiaran disebutkan bahwa spektrum frekuensi merupakan sumber daya alam yang
terbatas dan milik publik. Frekuensi
yang dikategorikan sebagai milik publik, memiliki pemaknaan bahwa frekuensi
tersebut merupakan benda
publik, milik publik, dan ranah publik. Ketiganya mengandung substansi yang
sama bahwa frekuensi sebagai entitas yang menjadi wilayah kekuasaan publik.
Kondisi itu berarti publik berhak memperoleh keuntungan sosial. Dengan
keterbatasan frekuensi tersebut mengharuskan negara mengambil peranan sentral
sebagai pengelola dengan tujuan mencapai kesejahteraan rakyat. Seperti yang
tercantum dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Pemanfaatan frekuensi dalam bentuk
kegiatan penyiaran merupakan bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat sesuai amanah
konstitusi. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat
dan mendapatkan informasi merupakan bagian dari hak azasi manusia dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Namun tentunya kemerdekaan
tersebut harus bermanfaat dalam upaya menjaga integritas bangsa, memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya penggunaan
frekuensi dalam kegiatan penyiaran harus dilakukan secara bertanggungjawab dan
melindungi kebebasan berekspresi dengan
tetap mengedepankan azas keadilan, supremasi hukum dan demokrasi. Pelaksanaan
penyiaran juga harus tetap memperhatikan aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Penyiaran harus mampu menjadi alat dalam upaya memberdayakan
masyarakat untuk melakukan control
sosial. Selain sebagai sarana media hiburan, penyiaran juga harus mampu menjadi
sarana pendidikan dan sarana dalam upaya melestarikan budaya bangsa.
Jika dilihat, demokrasi penyiaran
merupakan cikal bakal dari lahirnya undang-undang penyiaran. Demokrasi
penyiaran pada dasarnya tidak sebatas desentralisasi lembaga penyiaran. Pada
tingkat daerah, desentralisasi kemudian harus dijabarkan lebih luas, dalam
pengertian lembaga penyiaran sebagai pengelola harus
melibatkan warga negara selaku pemilik frekuensi dengan tidak sekedar menempatkan publik sebagai penonton
tetapi juga mengakomodasi hak-hak sipil warga negara. Pada kenyataanya selama
ini kepentingan bisnis telah mendominasi dan meminggirkan harapan rakyat.
Rating seakan-akan menjadi tujuan akhir dari lembaga penyiaran. Dengan rating
yang tinggi, lembaga penyiaran berharap akan memberi kontribusi bagi masuknya
iklan. Padahal di sisi lain masyarakat berharap banyak akan lahirnya lembaga
penyiaran yang mampu mengakomodasi ide meraka.
Mengejar
rating tidak hanya terjadi pada lembaga penyiaran nasional tetapi juga lembaga
penyiaran lokal, seperti yang terjadi di Bali. Masyarakat Bali sangat berharap
budaya Bali mendapat proporsi lebih dari lembaga penyiaran di Bali. Masyarakat
Bali sangat berharap kehadiran lembaga penyiaran lokal memberikan pencerahan
tentang adat, norma dan nilai yang ada di Bali. Pencerahan tersebut tentunya
dengan menghadirkan narasumber dan tokoh yang berkompeten. Apalagi selama ini
norma dan nilai budaya yang berkembang di masyarakat cenderung di kemas dalam
cerita-cerita rakyat. Kenyataan harapan tinggal harapan, sebab kepentingan
bisnis lebih penting.
Beberapa
media penyiaran lokal ketika awal-awal bersiaran cukup rajin menghadirkan
informasi adat dan budaya Bali. Formatnya juga beragam, mulai dari sekedar
kata-kata mutiara hingga bentuk dialog adat dan budaya Bali. Pada
perkembanganya tayangan tersebut secara perlahan durasinya makin berkurang dan
tidak jarang acara tersebut kemudian dihapuskan. Alasanya klasik yaitu tidak
mengangkat rating dan tidak menarik bagi pengiklan. Pertanyaanya kemudian
adalah apakah benar tidak menarik pengiklan atau gagal mengemas program? Hal
yang selama ini cenderung terjadi adalah kegagalan mengemas program. Jika
kemudian kemasanya diberikan setuhan kreativitas tentunya program tersebut akan
menarik bagi pendengar radio dan pemirsa TV. Program acara hiburan Bali
mengalami nasib yang sama. Tengok saja tayangan Calonarang, Drama Gong, Wayang
dan Arja. Tayangan Calonarang, Drama Gong, Wayang dan Arja menjadi tontonan
favorit bagi masyarakat Bali. Tantanganya kemudian mengemas tayangan panggung
tersebut menjadi tayangan menarik di layar kaca. Salah satu acara panggung yang
kemudian dikemas dengan cukup kreatif menjadi tayangan layar kaca adalah
program acara “geguntangan”. Kemasan dengan menyelipkan seni drama cukup mampu
memikat masyarakat. Selain kreatif program tersebut juga membantu pemirsa untuk
memahami cerita atau nilai-nilai yang terkandung dalam lagu yang ditembangkan.
Rating
selama ini menjadi tolak ukur bagi pengiklan dalam memilih lembaga penyiaran
yang tepat untuk beriklan. Pada akhirnya program yang disukai pengiklan yang
dibuat lembaga penyiaran, bukan pada program siaran harapan pendengar ataupun
pemirsa. Kondisi ini terkadang membuat lembaga penyiaran lupa untuk melakukan
polling sebelum membuat suatu program siaran. Polling untuk melihat apa
keinginan masyarakat yang merupakan pemilik frekuensi. Merancang program siaran
bagi lembaga siaran tak ubahnya dengan membuat rubrikasi di media cetak. Namun
kenyataanya dalam membuat program lembaga penyiaran sangat tergantung keinginan
pengiklan dan tidak jarang sesuai keinginan pemilik media. Kondisi yang lebih
parah, lembaga penyiaran di Bali membuat program dengan meniru program siaran
nasional ataupun program lembaga siaran lain yang lagi trend.
Pengembangan
demokrasi penyiaran tidak saja harus terbentur kepentingan bisnis lembaga
penyiaran, tetapi juga dihadang tembok kokoh egoisme pemilik lembaga penyiaran.
Pemilik media penyiaran tidak jarang lupa bahwa izin penyiaran yang didapatkan
merupakan ijin pengelolaan bukan hak milik. Sehingga tidak jarang pemilik media
penyiaran menggunakan frekuensi untuk kepentingan pribadi hingga kepentingan
politik. Jika melihat lembaga penyiaran nasional dapat dilihat dari kampanye
politik ARB di tvone dan AnTV. Begitu juga kampanye politik Wiranto-Hari Tanoe
(Win-HT) di MNC Group serta kampanye politik Surya Paloh di Metro TV. Bagaimana
dengan kasus penyalahgunaan frekuensi di Bali oleh pemilik media? Jika melihat
di Bali, kasus yang terjadi lebih pada penyalahgunaan frekuensi siaran demi
kepentingan pribadi. Kasusnya adalah ketika salah satu anggota keluarga pemilik
lembaga penyiaran meninggal dunia. Dimana siaran berita duka cita dalam satu
hari berulang-ulang dalam waktu lebih dari seminggu. Kondisi ini tentunya
sangat berlebihan, karena frekuensi siaran yang digunakan merupakan milik publik
bukan milik keluarga.
Para
pemilik media penyiaran tentunya akan menunjukkan perilaku reaktif jika
dituding telah menguasai frekuensi milik publik. Selama ini pemilik media
penyiaran selalu berdalih bahwa apa yang dilakukan juga mewakili publik. Padahal
apa yang mereka lakukan atau sampaikan belum tentu mewakili aspirasi publik. Dengan
argumentasi ideologis mewakili kepentingan public, pemilik lembaga penyiaran
seakan-akan membela kepentingan masyarakat. Kondisi yang lebih ironis adalah
dijadikanya frekuensi sebagai barang dagangan yang dapat diperjualbelikan. Jika
melihat Pasal 34 ayat (1) poin a Undang-Undang penyiaran disebutkan izin penyelenggaraan
penyiaran untuk radio diberikan untuk jangka waktu 5 tahun. Pada poin b
disebutkan izin penyelenggaraan penyiaran untuk radio diberikan untuk jangka
waktu10 tahun. Sedangkan pasal 34 ayat (4) disebutkan izin penyelenggaraan
penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain. Batasan dalam pasal
tersebut menjadi penegas bahwa frekuensi milik public dan harus digunakan
secara demokratis. (Muliarta/Praktisi Lembaga Penyiaran Bali)
3
Januari 2014
Komentar
Posting Komentar