Jalan Dipacu Pembangunanya (JDP) Demi APEC 2013
Jalan
Dipacu Pembangunanya (JDP) Demi APEC 2013
Pembangunan jalan
diatas perairan (JDP) yang menghubungkan Benoa-Bandara Ngurah Rai dan Nusa Dua
diharapkan menjadi solusi bagi upaya mengatasi kemacetan di Bali. Jalan tol
dengan panjang sekitar 10 kilometer tersebut seakan-akan menjadi solusi
permasalahan kemacetan di Bali. Padahal JDP hanya akses jalan yang
menghubungkan pusat-pusat keramaian di Denpasar dan Badung. Apalagi pembangunan
jalan di kawasan hutan mangrove Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai dengan
18.000 tiang pancang itu disebut-sebut sebagai salah satu infrastruktur
pendukung bagi pelaksanaan kegiatan APEC pada Oktober 2013 mendatang. Hal
tersebut yang membuat proyek JDP seakan-akan menjadi proyek yang fenomenal dan
penting.
Proyek JDP yang
merupakan jalan tol perintis di Bali ini juga digadang-gadang sebagai proyek
pencontohan pembangunan jalan tol di Indonesia. Menteri BUMN Dahlan Iskan
bahkan menyebut JDP sebagai proyek pembangunan jalan tol tercepat di Indonesia,
dengan waktu pengerjaan selama 12 bulan. Mengingat selama ini pembangunan jalan
tol di Indonesia cenderung memakan waktu yang cukup lama hingga bertahun-tahun.
Dahlan Iskan bahkan memastikan kisah sukses pembangunan JDP nantinya akan di
buku-kan dan diluncurkan bersamaan dengan peresmian JDP pada Juli tahun depan.
Buku tersebut nantinya akan menjadi pedoman penyelesaian proyek jalan TOL
dengan cepat di Indonesia. Namun permasalahannya saat ini pembangunan JDP yang
dipercepat cenderung mengabaikan aspek kelestarian lingkungan. Kondisi tersebut
seakan-akan menunjukkan bahwa JDP menjadi proyek jalan yang dipacu
pembangunanya.
Pemasangan tiang
pancang pembangunan JDP dengan sistem penguruggan menggunakan batu kapur menuai
protes dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali. Protes WALHI Bali
sangat beralasan karena sesuai rencana awal pemasangan tiang pancang JDP
menggunakan kapal Ponton. Penggunaan kapal ponton tentunya untuk meminimalisasi
kerusakan kawasan hutan mangrove akibat pembangunan JDP. Kenyataanya protes
tersebut dipandang sebagi bentuk penolakan terhadap pembangunan JDP. Padahal
protes lebih pada upaya pengawasan dari lembaga sosial masyarakat dalam
pelaksanaan pembangunan agar tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Seharusnya protes tersebut diakomodasi karena merupakan kritik yang membangun
dan menjadi sebuah kontrol pembangunan.
Respon Badan Lingkungan
Hidup (BLH) Bali terhadap protes WALHI Bali justru sangat disayangkan. BLH Bali
justru melakukan revisi terhadap Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) JDP.
Padahal seharusnya dokumen AMDAL menjadi pedoman pelaksanaan proyek, bukan
justru AMDAL yang menyesuaikan dengan proyek.
Seharusnya BLH Bali melakukan evaluasi pembangunan JDP dan melakukan
audit lingkungan terhadap kegiatan penguruggan di laut kawasan pembangunan JDP.
Proses pengurugan
dengan batu kapur dengan alasan pemasangan tiang pancang JDP menjadi ancaman
bagi ekosistem hutan mangrove di kawasan Tahura Ngurah Rai. Ancaman tersebut
bukan hanya masalah kekeruhan air laut, tetapi juga hilangnya berbagai spesies
mangrove seperti ikan, kepiting dan berbagai kerang. Mengingat hutan mangrove
memiliki fungsi penting sebagai kawasan pemijahan bagi ikan, kepiting, kerang,
ikan dan lain sebagainya. Hutan mangrove juga merupakan kawasan berlindung dan
tempat bersarang bagi burung dan hewan lainnya. Mangrove juga menjadi habitat
bagi berbagai jenis mahkluk hidup baik yang hidup di darat maypyn laut.
Kondisi yang lebih
menyedihkan adalah lokasi pengurugan yang menjadi jalur pengangkutan bahan-bahan
pembangunan JDP memiliki kekuatan menahan beban mencapai 70 ton. Dengan
kekuatan daya beban mencapai 70 ton maka telah terjadi pemadatan kawasan
mangrove seluas kawasan pengurugan. Walaupun menurut rencana penguruggan yang
dilakukan nantinya akan dikeruk kembali setelah proyek pemasangan tiang
selesai. Permasalahannya kemudian baik pengurugan maupun pengerukan akan
memberi dampak negatif secara langsung terhadap ekosistem mangrove. Apalagi
selama proses pengurugan dan pengerukan tidak ada pemasangan membran atau
selaput semipermeabel di sepanjang kawasan proyek. Ketiadaan selaput semipermeabel
justru akan semakin memperluas daerah dampak pencemaran di kawasan mangrove. Pihak
pelaksana proyek beralasan tidak menggunakan selaput semipermiabel untuk meminimalisasi
dampak kekeruhan karena telah membatasi daerah pengurugan dan pengerukan dengan
terpal plastik. Kenyataanya pemasangan terpal plastik juga hanya dilakukan pada
daerah-daerah tertentu dan tentunya terpal plastik tidak memiliki fungsi yang
sama dengan membran semipermeabel.
Dampak pembangunan JDP
yang juga perlu dicermati adalah pembabatan pohon mangrove di sepanjang kawasan
pembangunan JDP. Kepala Proyek Hutama Karya pembangunan jalan tol atau JDP
Benoa-Bandara Ngurah Rai dan Nusa Dua Nyoman Sujaya menyatakan terdapat 66.000
pohon yang ditebang secara keseluruhan, tetapi pohon tersebut nantinya akan
diganti kembali dengan melakukan penanaman kembali. Permasalahanya dilapangan
tidak sesederhana mengganti pohon mangrove yang ditebang dengan pohon baru.
Penebangan pohon mangrove berarti merusak ekosistem mangrove karena banyak
hewan lainnya yang kehidupanya tergantung dari keberadaan pohon mangrove.
Apalagi selama ini kerugian akibat kerusakan suatu ekosistem hanya diukur dari
kerugian sosial-ekonomi, tetapi tidak pernah diukur dengan kerugian ekologis
yang terjadi.Dalam setiap pembangunan di Bali kedepannya hendaknya harus ada
upaya juga untuk meminimalisasi kerugian ekologis yang terjadi. Jangan sampai
slogan untuk membangun Bali kenyataanya dilapangan hanya menjadi keinginan dan
keserakahan untuk membangun di Bali.
Ditengah tudingan
pencemaran air laut akibat kekeruhan sebagai dampak aktivitas penguruggan
dengan batur kapur, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Bali mengeluarkan hasil uji
laboratorium kualitas air laut. Hal yang menarik dari uji lobaratorium pada
tanggal 2 Agustus 2012 ternyata uji laboratorium hanya dilakukan pada kawasan
proyek Benoa I dan Benoa II, padahal penguruggan juga dilakukan di pertigaan
menuju Bandara Ngurah Rai. Lebih menariknya lagi tidak disebutkan jarak
titik-titik pengambilan sampel air laut yang diuji dari lokasi penguruggan.
Selain itu titik pengambilan sampel pada satu lokasi juga hanya dilakukan pada
satu titik dan tidak dilakukan di beberapa titik untuk mengetahui luasan daerah
terdampak. Terlihat sekali uji laboratorium yang dilakukan hanya sekedar
memenuhi kewajiban dan untuk pembenaran semata.
Pada hasil uji
laboratorium menunjukkan bahwa hanya BOD5 yang melebihi ambang batas baku mutu
lingkungan. Dimana BOD5 pada Benoa I sebesar 54 miligram perliter dan pada
Benoa II sebesar 30 miligran perliter, padahal berdasarkan Pergub no. 8 tahun
2007 tentang baku mutu lingkungan hidup dan kriteria baku kerusakan lingkungan
untuk baku mutu air laut yang diijinkan dibawah 20 miligram perliter. Pada
keterangan hasil uji lab disebutkan bahwa peningkatan BOD terjadi akibat
meningkatnya kekeruhan. Padahal berdasarkan hasil uji lab yang dilakukan total
padatan tersuspensi masih dibawah baku mutu. Total padatan tersuspensi yang diijinkan yaitu
dibawah 80 miligram perliter, sedangkan dari hasil uji laboratorium pada Benoa
I sebesar 46 miligram perliter dan Benoa II sebesar 12 miligram perliter. Hal
yang perlu diingat juga bahwa Biological Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan
oksigen biologis (KOB) menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan organik dalam air.
Terdapat hal mendasar
yang perlu dicermati dari hasil uji laboratorium yang dikeluarkan oleh BLH
Bali. Dimana hasil pengukuran terhadap parameter Chemical Oxygen Demand (COD)
tidak disertakan. COD adalah kebutuhan oksigen dalam proses
oksidasi secara kimia dapat dioksidasi secara kimia menggunakan dikromat dalam
larutan asam. Nilai COD biasanya akan selalu lebih besar daripada BOD. Selisih
nilai antara COD dan BOD memberikan gambaran besarnya bahan organik yang sulit
urai yang ada di perairan. Bisa saja nilai BOD sama dengan COD, tetapi BOD
tidak bisa lebih besar dari COD. Jadi COD menggambarkan jumlah total bahan
organik yang ada.
Banyak pihak yang kini
datang ke Bali dengan kedok ingin turut serta membangun Bali. Pada kenyataanya
kata membangun Bali menjadi membangun di Bali. Bali kini menjadi sebuah pulau
yang serba ada. Wisata apapun, hiburan apapun dan bangunan apapun ada di Bali.
Slogan memperhatikan daya dukung dan daya tampung Bali sebagai pulau kecil,
kini juga hanya sebatas wacana karena pembangunan di Bali tetap tidak
terkontrol. (I Nengah Muliarta)
Komentar
Posting Komentar