Jaminan Kesehatan Berusaha Meluas (JKBM)
Jaminan
Kesehatan Berusaha Meluas (JKBM)
Jaminan
Kesehatan Bali Mandara (JKBM) merupakan sebuah terobosan dari pemerintah
provinsi Bali yang harus diapresiasi dalam upaya membuka layanan kesehatan
secara luas. Melalui program JKBM, masyarakat terutama masyarakat miskin dapat
menikmati layanan kesehatan secara gratis. Gratis dalam artian biaya dibayarkan
oleh pemerintah provinsi, dimana dana yang dipakai adalah dana pajak yang
dibayarkan oleh masyarakat. Jadi JKBM bukanlah sebuah bonus dari pemerintah kepada
warganya, tetapi sebuah kewajiban yang harus dilakukan pemerintah dan baru
dapat dilaksanakan sejak 3 tahun terakhir. Tantanganya kedepan adalah
memperluas cakupan jaminan kesehatan. Perluasan cakupan jaminan dalam artian lebih
banyak jenis penyakit yang bisa ditanggung dan akses JKBM tidak saja dapat
dilakukan di pusat layanan kesehatan pemerintah tetapi juga swasta. Mengingat pelayanan JKBM baru dilaksanakan di seluruh Puskesmas
Pembantu, Puskesmas, dan Rumah Sakit Pemerintahan di seluruh Bali.
Berdasarkan
data pemerintah Provinsi Bali Anggaran APBD provinsi yang dialokasikan untuk
program JKBM adalah sebesar Rp 100 milyar, pada tahun 2010, dan 2011. Sementara
dana pendamping dari pemerintah kabupaten/ kota se-Bali sesuai dengan kemampuan
daerah, pada tahun 2010 dan 2011 masing-masing berjumlah Rp.81,254 milyar. Pada tahun 2012, pada APBD provinsi Bali
dianggarkan Rp.104,272 milyar, dan pendampingan pemerintah kabupaten/ kota
se-Bali berjumlah Rp.88,484 milyar. Pada APBD perubahan tahun 2012, program
JKBM ini kembali dianggarkan tambahan dana sebesar Rp.44,173 milyar. Jadi pada
tahun 2012, total Pemerintah Provinsi Bali mengalokasikan dana untuk program
JKBM sebesar Rp.236,930 milyar. Dalam aplikasinya JKBM diklaim telah memberi
manfaat yang cukup luas melalui jumlah
peserta/ pasien yang dilayani pada Puskesmas dan Rumah Sakit se-Bali yang
semakin meningkat. Pada tahun 2010, JKBM diklaim telah dimanfaatkan oleh 2.535.886
jiwa dan tahun 2011 2011 sebanyak 2.936.886 jiwa. Permasalahannya kemudian, sejauh
mana program JKBM ini akan dapat di implementasikan secara berkelanjutan? Jika
melihat apa yang terjadi sebelumnya, ketika terjadi pergantian kepemimpinan
maka program lama akan dihentikan dan diganti dengan program baru. Kini tinggal
berharap pada komitmen pemerintah provinsi dan para bupati untuk mempertahankan
program yang secara nyata memberikan manfaat bagi masyarakat Bali.
JKBM memang telah berlaku luas di
seluruh wilayah Bali, tetapi cakupan tanggunganya masih terbatas. Buktinya
layanan JKBM belum memasukkan HIV/AIDS sebagai salah satu tanggungan. Padahal layanan JKBM sangat dibutuhkan bagi
pasien HIV/AIDS, terutama saat mereka mengalami infeksi oportunistik seperti
diare, penyakit kulit, dan lain-lain yang berakibat sistem ketahanan tubuhnya
berkurang. Selain itu, pasien HIV/AIDS cenderung berasal dari keluarga miskin
dan sangat membutuhkan bantuan pendanaan untuk pengobatan. Belum masuknya
HIV/AIDS dalam tanggungan JKBM menunjukkan bahwa masih terjadi diskriminasi
pada mereka yang terinfeksi HIV/AIDS. Kondisi ini memunculkan kesan bahwa pemerintah
masih memandang HIV/AIDS sebagai penyakit akibat moral. Dalam kenyataanya
infeksi HIV/AIDS tidak saja terjadi pada kelompok beresiko, tetapi telah meluas
pada masyarakat umum. Kenyataanya penularan HIV/AIDS kini telah terjadi pada
ibu rumah tangga dan anak-anak. Jika pada implementasinya JKBM kini sudah mulai
memasukkan cuci darah sebagai tanggungan, mengapa belum memasukkan HIV/AIDS sebagai
salah satu tanggungan? Apalagi penanggulangan HIV/AIDS menjadi salah satu
indikator tolak ukur dalam kesuksesan pencapaian tujuan pembangunan milinium
(MDG’s).
Belum
masuknya HIV/AIDS dalam tanggungan JKBM juga menjadi bukti bahwa pemerintah
provinsi Bali tidak konsisten dengan aturan yang dibuat. Aturan tersebut yaitu
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan
AIDS. Dalam pasal 14, Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2006 disebutkan penyediaan
layanan kesehatan wajib memberikan pelayanan kepada ODHA tanpa diskriminasi.
Hal ini bermakna bahwa harus ada layanan kesehatan yang luas bagi ODHA dan
tanpa ada perbedaan dengan pasien penyakit lainnya. Pasal 14 juga menjadi
penegas bahwa JKBM harus memasukkan pengobatan HIV/AIDS dalam tanggungan.
Kemudian pasal 15 ayat (1) disebutkan kegiatan pengobatan ODHA dilakukan
berdasarkan pendekatan berbasis klinik dan berbasis keluarga, kelompok dukungan
serta masyarakat. Pendekatan berbasis klinik yang dimaksud disini yaitu
dilakukan pada pelayanan kesehatan dasar , rujukan dan layanan penunjang milik
pemerintah maupun swasta. Penegas berikutnya adalah pasal 16 yang menyebutkan Pemerintah
Provinsi menyediakan sarana dan prasarana pendukung pengobatan, pengadaan obat
anti retro viral, anti infeksi oportunistik, dan ibat infeksi menular seksual
(IMS). Ketersediaan sarana dan prasarana harus bermutu dan terjangkau oleh
seluruh lapisan masyarakat.
Selain
HIV/AIDS, yang harus segera menjadi bagian tanggungan dari JKBM adalah biaya
visum bagi korban pelecehan seksual. Tentu menjadi sangat ironis jika korban
pelecehan seksual tidak mendapat bantuan biaya visum. Visum memang sangat
dibutuhkan untuk memperkuat barang bukti, tetapi sangat tidak layak jika
kemudian korban yang sudah terkena musibah kemudian dibebani kembali dengan
biaya visum. Kelompok Peduli Perempuan dan Anak (KPPA) Bali
melaporkan jika selama ini sebagian besar korban pelecehan seksual di Bali
merupakan anak anak yang berasal dari keluarga miskin. Permasalahannya kemudian
bagaimana mungkin korban akan mampu membayar biaya visum? Sedangkan tarif yang
ditetapkan rumah sakit untuk visum dapat mencapai Rp.400.000 hingga Rp.500.000
untuk sekali visum. Sudah selayaknya pemerintah provinsi Bali mengeluarkan
aturan yang mewajibkan rumah sakit untuk membebaskan biaya visum bagi korban
pelecehan seksual atau menanggungnya melalui program JKBM.
Kesehatan merupakan hak dasar yang harus
terpenuhi bagi setiap umat manusia. Pembangunan kesehatan sendiri merupakan
investasi untuk meningkatkan sumber daya manusia. Kesehatan juga merupakan
bagian dari hak asasi manusia bagi semua manusia secara moral dan formal yang
dijamin dalam undang-undang. Atas dasar tersebut sudah saatnya pengembangan
JKBM didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Pengembangan JKBM juga harus sinergi
dengan kebijakan pelayanan kesehatan lainnya yang dituangkan dalam aturan hukum.
Penulis : I Nengah Muliarta
Komentar
Posting Komentar