Dilema Layar Kaca dan Perlindungan Anak



Dilema Layar Kaca dan Perlindungan Anak

Lembaga penyiaran terutama televisi (TV) harus diakui memiliki dampak yang cukup besar dalam mempengaruhi pola pikir penonton,  khususnya anak. Anak cenderung meniru apa yang ditonton di televisi. Masih banyak tayangan yang tidak mendidik bagi anak-anak yang ditayangkan di televisi. Tayangan kartun saja masih cukup banyak menyajikan perkelahian. Sering juga dalam film kartun dipertontonkan adegan salah satu tokoh yang berulangkali dibunuh tetap hidup kembali. Padahal pola pikir kita selama ini bahwa kartun adalah tontonan hiburan bagi anak-anak.

Hal yang cukup mengagetkan saat ini adalah siaran iklan produk makanan, permen ataupun produk lainnya yang sangat imajinatif. Dimana iklan tersebut terlalu menggambarkan imajinasi yang berlebihan dan tidak sesuai kenyataan. Sebagai contoh  iklan produk makanan seperti roti dan permen yang menggambarkan seakan-akan memberikan efek kekuatan super bagi anak-anak yang mengkonsumsinya. Secara logika memang iklan dibuat semenarik mungkin untuk menarik minat masyarakat untuk menggunakan. Tentu ada catatanya bahwa iklan yang menarik tentunya tidak harus menampilkan imajinasi yang berlebihan.

Bagi lembaga penyiaran dalam memproduksi atau menayangkan sebuah program tentunya harus berpedoman pada Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Dalam pasal 36 ayat (3) disebutkan bahwa isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khususnya, yaitu anak-anak dan remaja dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan atau menyebutkan klasiffikasi khalayak sesuai isi siaran. Dalam pedoman perilaku siaran (P3) juga telah diberikan batasan bagi lembaga penyiaran terkait perlindungan kepada anak. Pada pasal 14 ayat (1) disebutkan “lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat, sesuai dengan penggolongan program siaran. Pada ayat (2) disebutkan bahwa lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.

Dalam standar program siaran (SPS) lembaga penyiaran juga telah diberikan pedoman dasar terkait penerapan perlindungan anak dan remaja. Seperti pada pasal 15 ayat (1) disebutkan bahwa program siaran wajib memperhatikan dan melindungi kepentingan anak-anak dan atau remaja. Pada ayat (2) disebutkan bahwa program siaran yang berisi muatan asusila dan atau informasi tentang dugaan tindak pidana asusila dilarang menampilkan anak-anak dan atau remaja. Satu lagi yang penting pada ayat (3) yang menyebutkan bahwa program siaran yang menampilkan anak-anak atau remaja dalam peristiwa penegakan hukum  wajib disamarkan wajah dan identitasnya. Batasan-batasan yang ada sudah sangat jelas, namun masih menjadi catatan bahwa penerapanya di lapangan belum optimal. Harus diakui penerapan perlindungan anak hingga saat ini belum menjadi sebuah budaya, termasuk di lembaga penyiaran.

Tayangan yang mendidik, informatif dan berkualitas sangat dibutuhkan dalam upaya perlindungan terhadap anak-anak. Dalam upaya menghasilkan siaran yang ramah anak maka kualitas pengelola lembaga penyiaran, baik dari reporter, redaktur hingga pemilik media harus berkualitas. Tanpa adanya perspektif perlindungan anak dari pengelola lembaga penyiaran sangat tidak mungkin menghasilkan siaran yang ramah anak. Lembaga penyiaran juga memiliki tugas membangun kesadaran perlindungan anak melalui program siarannya. Program siaran tersebut dalam bentuk berita ataupun tayangan yang berperseptif perlindungan anak. Namun kesadaran kolektif perlindungan anak akan berhasil dilakukan oleh lembaga penyiaran jika pengelola lembaga penyiaran telah memiliki perspektif yang sama tentang perlindungan anak.

Banyaknya anak yang meniru apa yang ditayangkan televisi pada dasarnya bukanlah semata-mata kesalahan lembaga penyiaran. Orang tua juga memiliki peran penting. Orang tua hendaknya mendampingi anaknya saat menonton tayangan televisi. Jadi orang tua harus memberikan pengertian pada anaknya pada apa yang ada di televisi. Sebab apa yang ada di televisi belum tentu mampu dipahami secara baik oleh anak-anak.

Tayangan televisi saat ini cukup beragam, tetapi lembaga penyiaran telah memberikan kode dalam setiap siaran, Kode tersebut berupa tanda R dalam lingkaran yang berarti tayangan khusus Remaja atau tanda BO dalam lingkaran yang berarti ketika anak menonton tayangan tersebut perlu bimbingan orang tua. Faktanya dengan alasan kesibukan, orang tua justru membiarkan anak menonton siaran televisi yang tidak sesuai dengan klasifikasinya. Anak bahkan mendapatkan keleluasaan waktu untuk menonton siaran TV berjam-jam.

Satu hal yang cukup fatal selama ini bagi orang tua adalah menempatkan televisi di ruang tidur. Kondisi ini menyebabkan anak sering ikut menonton apa yang ditotonkan orang tua, padahal siaran tersebut khusus untuk kalangan dewasa. Bahkan juga terdapat kecenderungan orang tua membiarkan atau justru menaruh televisi di kamar tidur anak. Maka dalam hal ini perlu adanya ketegasan dari orang tua untuk membatasi anak-anaknya menonton televisi.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa menonton TV yang sehat maksimal hanya 2 jam dalam sehari. Para praktisi penyiaran dan KPI sejak tahun 2006 telah mendorong adanya gerakan menonton TV secara sehat. Bahkan pada tahun ini gerakan menonton secara sehat akan diselenggarakan secara nasional pada 23 Juli mendatang. Gerakan ini menyerukan kepada masyarakat untuk tidak menonton televisi selama satu hari. Gerakan ini juga sebagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat bahwa informasi dan hiburan tidak hanya dapat diperoleh melalui televisi. Informasi dan pendidikan masih bisa didapatkan melalui membaca di perpustakaan atau membaca koran.

Televisi selalu disebut-sebut sebagai salah satu penyebab anak melakukan kekerasan ataupun anak menjadi korban kekerasan. Disatu sisi lembaga penyiaran telah memiliki batasan dalam perlindungan anak. Namun dalam kebijakan perlindungan anak belum memuat adanya kewajiban bagi orang tua untuk mendampingi anaknya saat menonton televisi. Sebagai salah satu contoh di Bali saat ini DPRD Bali sedang menggodok rencana peraturan daerah (ranperda) tentang perlindungan anak. Alangkah baiknya jika dalam rancangan peraturan daerah (ranperda) Perlindungan anak yang kini masih dalam proses pembahasan di DPRD Bali juga mengatur ketentuan adanya kewajiban bagi orang tua untuk mendampingi anaknya saat menonton TV. Jangan sampai semua prilaku anak akibat menonton TV dituduhkan semua ke lembaga penyiaran.

Pada dasarnya masih banyak permasalahan yang berkaitan dengan siaran TV dan perlindungan anak yang harus disinergikan. Seperti adanya usulan agar siaran khusus anak tidak disiarkan pada jam-jam anak belajar. Usulan tersebut didasarkan pada alasan bahwa penayangan program anak pada saat jam belajar akan mengganggu kegiatan belajar anak-anak. Pada sisi lain tidak mungkin lembaga penyiaran menayangkan program anak pada malam hari. Mengingat pada malam hari, tayangan lebih banyak khusus untuk tayangan dewasa. Begitu juga terdapat usulan agar tayangan program anak tidak ditempatkan pada jam-jam anak berangkat kesekolah. Dimana orang tua beralasan penayangan program anak pada jam berangkat sekolah menyebabkan anak enggan berangkat ke sekolah.

Satu hal yang juga perlu dicermati adalah keterlibatan anak dalam program siaran televisi. Sejauhmana anak bisa dilibatkan dalam pembuatan program televisi. Tentunya ini perlu ada aturan yang dapat dijadikan pedoman. Mengingat melibatkan anak sebagai host atau bagian dari program televisi rawan mengalami kekerasan. Jika anak yang terlibat sebagai host atau bagian dari program TV, bisa saja anak tersebut tidak menikmatinya. Anak dapat merasakan keterpaksaan. Kedepan ini perlu adanya penyamaan persepsi, jangan sampai anak menjadi korban kekerasan hanya demi mengejar kesuksesan program siaran dan mengejar rating semata.

Penulis :
I Nengah Muliarta
Komisioner KPID Bali.

Komentar

Postingan Populer