KTR (Kawasan Taat Rokok)



KTR (Kawasan Taat Rokok)

Cukup mencengangkan jika menyimak hasil survey Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana  yang menyebutkan sekitar 34,5 persen remaja umur 13 sampai 22 tahun merupakan perokok aktif. Dalam penelitian yang dilakukan pada Mei-September 2011 dan melibatkan 149 responden juga menunjukkan 98,5 persen perokok merupakan remaja laki-laki. Lebih mengejutkan lagi adalah 60 persen remaja yang merokok di Denpasar masih berstatus pelajar SMP. Para remaja tersebut memiliki tingkat kecanduan rokok yang cukup parah yaitu kecanduan pada rokok melebihi  keinginan untuk makan dan minum. Dalam penelitian tersebut juga disebutkan 69 persen remaja yang memiliki anggota keluarga perokok maka kemungkinan remaja tersebut menjadi perokok lebih besar 3,2 kali dari remaja yang di dalam keluarganya tidak ada yang merokok. Data lainnya menyebutkan, 70 persen perokok aktif berasal dari keluarga menengah ke bawah. Jika menyimak data dari hasil survey Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dapat disimpulkan bahwa prilaku orang tua sangat mempengaruhi prilaku anak. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebiasaan remaja merokok bukan semata-mata pengaruh lingkungan, tetapi juga prilaku orang tua sangat berpengaruh pada kebiasaan remaja.
Satu langkah maju dilakukan pemerintah Provinsi Bali di tengah ke khawatiran akan bahaya rokok bagi kesehatan, dimana Perda Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), mulai diberlakukan efektif sejak 1 Juni lalu. Dengan perda tersebut pemerintah Provinsi Bali mengklaim sebagai provinsi pertama di Indonesia yang menerapkan perda KTR. Dalam Perda KTR juga disebutkan kawasan-kawasan yang menjadi kawasan bebas rokok seperti fasilitas pelayanan kesehatan, tempat belajar mengajar, tempat bermain anak, tempat kerja, tempat ibadah dan tempat umum. Bahkan dalam batasan tempat umum juga disebutkan bahwa tempat wisata, restoran dan tempat hiburan juga merupakan bagian dari KTR. Tantanganya kemudian adalah sejauh mana penerapan KTR ini mampu diimplementasikan? Jika melihat kembali apa yang terjadi selama satu bulan pelaksanaan Perda KTR, maka cukup mencengangkan. Pada beberapa media justru memberitakan kebiasaan buruk anggota dewan yang merokok di dalam ruang tertutup dan ber-AC, yang merupakan bagian dari wilayah KTR. Kejadian ini tentu menjadi contoh buruk bagi masyarakat terhadap penerapan KTR. Selain itu Pameo yang menyatakan “siapa pembuat aturan, itulah yang melanggarnya” seakan-akan menunjukkan kebenarannya. Jika perda KTR diharapkan dapat dipatuhi oleh masyarakat, tentunya para pemimpin harus menjadi contoh dalam penerapannya dilapangan. Hal yang lebih mengecewakan adalah pernyataan Kepala Dinas Kesehatan provinsi Bali yang menyatakan belum optimalnya penegakan perda karena masih dalam tahap sosialisasi. Padahal secara resmi implementasi perda KTR berlaku 1 Juni 2012. Apakah karena yang tertangkap kamera yang merokok adalah anggota dewan sehingga kemudian perda KTR dikatakan masih tahap sosialisasi? Nampaknya implementasi masih dalam tahap komitmen dan masyarakat tentunya akan meniru apa yang dilakukan pemimpinnya. Satu hal yang perlu sama-sama diingat, jangan sampai KTR diartikan masyarakat sebagai kawasan taat rokok.
Berbicara prinsip KTR maka berarti 100% bebas asap rokok pada area / gedung tertutup. Kenyataanya yang terjadi justru perokok masih dengan mudah ditemui sedang merokok di tempat-tempat yang ditetapkan sebagai KTR. Contohnya di kantor pemerintahan di lingkungan pemerintah provinsi Bali masih cukup banyak ditemui perokok yang merokok di ruang tertutup, walaupun telah terdapat peringatan larangan merokok yang terpasang di dinding ruangan. Seringkali ketersediaan asbak (tempat abu rokok) menjadi pembenar bagi perokok untuk merokok. Seharusnya asbak tidak disediakan lagi di area KTR, sehingga tidak ada alasan pembenar bagi perokok. Bila perokok menyadari, sebenarnya perwujudan KTR telah membantu mereka untuk mengurangi merokok. termasuk membantu mengurangi pengeluaran akibat pembelian rokok dan membantu menjaga kesehatan perokok.
Prinsip KTR tidak hanya berarti 100 persen bebas asap rokok, tetapi juga berarti melakukan pembatasan terhadap produk iklan dan promosi rokok yang diketahui merupakan media yang sangat efektif dalam menjaring perokok pemula.  Kondisi dilapangan cukup mengecewakan, karena iklan rokok  baik dalam bentuk spanduk, baliho dan papan reklame masih cukup banyak ditemui di ruas-ruas jalan di Bali. Justru papan reklame rokok terpampang berjajar di ruas jalan yang dekat dengan sekolah. Kapan iklan rokok dalam bentuk reklame akan ditertibkan? Apakah karena alasan pendapatan dari reklame iklan rokok yang besar menyebabkan papan reklame rokok dibiarkan?. Tentu cukup ironis jika hal ini terjadi, karena ini menunjukkan pemerintah melakukan standar ganda demi sebuah alasan peningkatan PAD. Bila pemerintah provinsi dan kabupaten tetap tidak melakukan penertiban iklan rokok maka dapat dikatakan bahwa implementasi KTR hanya setengah hati dan hanya sebuah sensasi semata.
Fenomena menarik dari pelaksanaan KTR adalah dalam hal penindakan, saat razia yang digelar di kantor-kantor pemerintahan di lingkungan kantor provinsi Bali. Dengan alasan masih dalam tahap sosialisasi para perokok hanya diberikan teguran lisan. Namun seorang PNS menggerutu dengan menyatakan “mana mungkin berani, orang dia juga perokok”. Kejadian ini menggambarkan bagaimana seorang perokok akan mampu menegakkan perda KTR  ibarat jeruk minum jeruk.  Ketegasan dan komitmen menjadi kunci dalam keberhasilan mengimplementasikan perda KTR kedepan. Jika tidak ada komitmen dan ketegasan maka KTR bukanya menjadi kawasan tanpa rokok, tetapi akan menjadi kawasan taat rokok. Dimana perda KTR hanya akan menjadi aturan sampah yang hanya tertulis dalam kertas. Sudah saatnya Bali kini menunjukkan bahwa bukan hanya menjadi daerah yang memiliki perda KTR, tetapi juga daerah yang mampu menerapkan prinsip-prinsip KTR.
Penulis : I Nengah Muliarta

Komentar

Postingan Populer