Moratorium Pembangunan Hotel Sebatas Basa Basi

Moratorium Pembangunan Hotel Sebatas Basa Basi

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali memprediksikan jumlah akomodasi pariwisata di Bali, mulai dari kamar hotel bintang lima, hingga villa, pondok wisata dan penginapan mencapai lebih dari 90.000 kamar. Prediksi tersebut didasarkan pada laporan dari Dinas Pariwisata Badung yang melaporkan bahwa jumlah akomodasi pariwisata di Badung hingga Mei 2012 mencapai lebih dari 78.300 kamar. Jumlah tersebut tentunya cukup mencengangkan, jika dilihat dari pertumbuhan jumlah kamar pada tahun-tahun sebelumnya. Dimana pada tahun sebelumnya PHRI memprediksikan jumlah akomodasi pariwisata mencapai 65.000 kamar. Sedangkan yang tercatat di Dinas Pariwisata Bali hanya mencapai 45.000 kamar. Jumlah kamar hotel hingga akhir tahun ini juga diprediksikan akan terus bertambah, seiring dengan penyelesaian pembangunan hotel yang kini masih dalam tahap pengerjaan. Belum lagi dengan semakin menjamurnya villa hingga ke pelosok pedesaan. Sebenarnya berapa banyak kamar yang dibutuhkan untuk mendukung pariwisata Bali?
Sejak awal banyak pihak yang telah meragukan implementasi dari kebijakan moratorium pembangunan hotel yang di serukan oleh gubernur Bali Made Mangku Pastika. Keraguan tersebut kini menjadi kenyataan. Bukan saja karena semakin banyaknya hotel yang berdiri, para bupati di Bali juga seakan tidak menghiraukan seruan tersebut. Seruan kebijakan moratorium bahkan terkesan dianggap pepesan kosong. Jika dipertanyakan ijin-ijin tersebut, maka jawabanya selalu alasanya adalah ijin tersebut telah dikeluarkan pada tahun-tahun sebelumnya. Apakah ini berarti pemberian ijin begitu cepat, sedangkan seruan moratorium hanya mimpi disiang bolong?. Nampaknya pemerintah provinsi dan kabupaten-kota di Bali perlu membuat kesepakatan ulang mengenai kebijakan moratorium pembangunan hotel. Jangan sampai ego otonomi daerah menyebabkan pembangunan Bali tidak memiliki arah pembangunan yang jelas karena tiap kabupaten mempunyai keinginan sendiri-sendiri. Harus dipikirkan kembali untuk menentukan apakah peningkatan PAD yang lebih penting ataukah mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan. Jangan sampai teori daya dukung dan daya tamping lingkungan hanya menjadi wacana semata.
Maraknya pembangunan hotel baru, villa hingga penginapan kini berdampak langsung pada harga sewa. Jumlah kamar yang tersedia cukup banyak sedangkan permintaan tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Permasalahan tidak terhenti pada ketersediaan jumlah yang banyak, tetapi praktek harga promo yang berkepanjangan juga semakin memperparah penurunan harga. Dengan alasan harga promo tidak jarang ditemui hotel berbintang yang menawarkan harga kamar hingga Rp. 250.000 per-malam, padahal harga standar mencapai Rp. 700.000 per-malam. Apabila dicermati harga promo yang ditawarkan hotel dalam waktu panjang merupakan bagian dari praktek banting harga. Harga promo berkepanjangan akan menyebabkan hotel-hotel yang lain akan menurunkan harga untuk tetap mampu bersaing. Jadi seruan pemerintah provinsi Bali kepada pelaku pariwisata untuk tidak melakukan praktek banting harga hanya taraf wacana. Padahal banting harga justru terjadi akibat pemerintah dengan gampang memberikan ijin pembangunan hotel baru.  Tentunya investor juga tidak akan gegabah membangun jika belum mendapatkan ijin dari pemerintah. Pada akhirnya rencana untuk membuat standar harga tidak aka nada gunanya, belum lagi rencana tersebut hingga kini masih sebatas rencana yang tidak terealisasi. Jika memang pemerintah provinsi dan kabupaten ingin menciptakan pariwisata yang berkualitas tentunya harus ada komitmen untuk membatasi pembangunan hotel, villa hingga pondok wisata.
Murahnya harga akomodasi pariwisata berbuntut pada murahnya paket wisata yang ditawarkan biro perjalanan. Penawaran paket wisata murah dengan mudah dapat ditemui pada promo melalui selebaran hingga internet. Bali memang menjadi salah satu destinasi wisata terbaik di dunia, tetapi jika dijual dengan murah tentunya akan memberi citra buruk pada pariwisata Bali. Begitu juga wisatawan yang datang ke Bali bukan lagi wisatawan berkualitas tetapi wisatawan kere. Jika kondisi seperti ini tetap dibiarkan maka target untuk menarik wisatawan berkualitas dan mengembangkan pariwisata berkualitas hanya akan menjadi sekedar basa-basi.
Dengan jumlah kamar yang begitu banyak maka tradisi full booking yang biasanya terjadi saat liburan atau akhir tahun nampaknya hanya akan menjadi cerita lalu. Mengejar target tingkat hunian 80 persen juga menjadi angka yang keramat. Mengejar target tingkat hunian juga berarti harus siap-siap dengan tawaran harga yang lebih murah. Apabila hal ini terjadi maka harga akan semakin murah dn Bali akan diklaim sebagai destinasi wisata murahan. Harus diakui kondisi tersebut saat ini memang sudah terjadi, namun dikemas dalam bentuk harga promo atau special discount.
Perlu kajian yang holistic terkait banyaknya akomodasi pariwisata di Bali. Bukan semata-mata dari segi jumlah wisatawan, tetapi juga dari segi ketersediaan air, konsumsi energy dan kemacetan yang ditimbulan. Sebagai contoh dengan ketersediaan jumlah kamar yang banyak maka kebutuhan akan air bersih juga akan mengalami peningkatan. Menurut laporan Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Pembangunan Bali (LP3B) menunjukkan kamar hotel memerlukan air mencapai 2.000 liter hingga 3.000 liter per kamar per hari (tergantung kelas hotel/resort) dan setiap lapangan golf 18 hole membutuhkan 3.000.000 liter air per hari. Sedangkan jika merujuk penelitian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup pada 1997 silam menyebutkan jika Bali akan mengalami krisis air pada 2013 sebanyak 27 miliar liter. Membandingkan kedua data tersebut memperlihatkan bahwa saat ini saja Bali telah mengalami krisis air. Kebijakan pemerintah provinsi Bali untuk menaikkan pajak air bawah tanah hingga 1000 persen juga tidak akan membantu Bali dalam menghadapi krisis air bersih.
Moratorium pembangunan hotel saat ini seharusnya tidak saja diberlakukan untuk Bali selatan semata, tetapi berlaku di seluruh Bali. Dengan jumlah kamar yang ada saat ini Bali mungkin sudah kelebihan jumlah kamar, belum lagi bakal ada tambahan kamar dari hotel-hotel yang sedang dalam tahap penyelesaian pembangunan. Tinggal komitmen para pemegang kebijakan saja yang diperlukaan saat ini, apakah komit pada pembangunan Bali yang berkelanjutan atau hanya akan mengejar target investasi semata? Jika tetap target investasi menjadi acuan maka moratorium pembangunan hotel tetap sekedar menjadi wacana basa basi.(I Nengah Muliarta)
Minggu, 01 September 2013 

Komentar

Postingan Populer